Minggu, 20 Desember 2015

Cerita Lama

Dalam hidupku, aku pernah merasakan apa yang mereka sebut dengan istilah "sempurna". Namun semua sirna, ketika apa yang kuanggap sempurna justru suatu waktu menusuk sukmaku. Tetapi karena itulah, kini aku menemukan kesejatian sempurna, bahwa tidak sempurna itulah, aku sempurna sebagai manusia.

Dengan kata lain, ketidaksempurnaan itulah kesempurnaan. Maka ketika sudah mafhum menjadi sempurna, tidak ada lagi kesempurnaan karena ketidaksempurnaan sudah tidak ada. Ketika ketidaksempurnaan itu ada, maka itulah kesempurnaan sejati.

Barangkali serupa dengan sebuah potret kamera yang background-nya berantakan––katakanlah blur––seolah menunjukkan bahwa begitulah memang sebenarnya kehidupan, samar dan tidak sempurna. Barangkali begitu pula dengan suatu hubungan, samar dan tidak sempurna. Namun, justru hal-hal yang samar dan tidak sempurna itulah yang membuat "sepasang burung merpati" saling tertarik, saling melengkapi, dan mencoba untuk saling bertahan. Sebab begitulah kesempurnaan, terbentuk dari hal-hal yang tidak sempurna.

Ah, aku terlalu banyak berkata-kata. Tetapi memang permenungan seperti ini seringkali membuatku tersadar atas kegamanganku. Kegamangan menjadikanku berfikir dan hendak berujar; “Hitamnya kopi tak sehitam dosa diri. Pekatnya malam tak sepekat hati ini. Namun, jangan pernah berhenti berproses. Walau berada di ruang ampunan tak berujung.”

“Dosamu sepekat kopi nak.” Pangkas temanku.

“Sepekat kopi? Bahkan lebih.” Aku menjawab pangkasan temanku.

“Kopi di dalam gelas pun menyimpan dendam.” Temanku kembali memangkas.

“Dendam? Meskipun pahit tetap dinikmati.” Kembali aku menjawab.

Hening. Aku diam. Temanku bungkam. Temanku yang satu lagi telah bisu sedari awal. Masih Hening. Aku masih diam. Temanku pun masih bungkam. Temanku yang satu lagi tetap bisu. Keheningan berlanjut. Beberapa saat kemudian suaraku memecah keheninganku dan teman-temanku; “Selalu ada harapan, bagi mereka yang berdo’a. Selalu ada jalan, bagi mereka yang berusaha.”

Teman-temanku tersenyum, lalu rokok-rokok disumut, kopi-kopi diseruput, aku dan teman-temanku pun akhirnya tertawa girang dengan candaan penuh riang alias mereka tak lupa untuk berbahagia.

Tempattah tempatteh, jelenah jeleneh (tempatnya tempati, jalannya jalani). []


Gunung Kidul, 21 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar