Dalam hidupku, aku pernah merasakan apa yang mereka sebut dengan
istilah "sempurna". Namun semua sirna, ketika apa yang kuanggap
sempurna justru suatu waktu menusuk sukmaku. Tetapi karena itulah, kini aku
menemukan kesejatian sempurna, bahwa tidak sempurna itulah, aku sempurna
sebagai manusia.
Dengan kata lain, ketidaksempurnaan itulah kesempurnaan. Maka
ketika sudah mafhum menjadi sempurna, tidak ada lagi kesempurnaan karena
ketidaksempurnaan sudah tidak ada. Ketika ketidaksempurnaan itu ada, maka
itulah kesempurnaan sejati.
Barangkali serupa dengan sebuah potret kamera yang background-nya
berantakan––katakanlah blur––seolah menunjukkan bahwa begitulah memang
sebenarnya kehidupan, samar dan tidak sempurna. Barangkali begitu pula dengan
suatu hubungan, samar dan tidak sempurna. Namun, justru hal-hal yang samar dan
tidak sempurna itulah yang membuat "sepasang burung merpati" saling
tertarik, saling melengkapi, dan mencoba untuk saling bertahan. Sebab begitulah
kesempurnaan, terbentuk dari hal-hal yang tidak sempurna.
Ah, aku terlalu banyak berkata-kata. Tetapi memang permenungan
seperti ini seringkali membuatku tersadar atas kegamanganku. Kegamangan
menjadikanku berfikir dan hendak berujar; “Hitamnya kopi tak sehitam dosa diri.
Pekatnya malam tak sepekat hati ini. Namun, jangan pernah berhenti berproses.
Walau berada di ruang ampunan tak berujung.”
“Dosamu sepekat kopi nak.” Pangkas temanku.
“Sepekat kopi? Bahkan lebih.” Aku menjawab pangkasan temanku.
“Kopi di dalam gelas pun menyimpan dendam.” Temanku kembali
memangkas.
“Dendam? Meskipun pahit tetap dinikmati.” Kembali aku menjawab.
Hening. Aku diam. Temanku bungkam. Temanku yang satu lagi telah bisu
sedari awal. Masih Hening. Aku masih diam. Temanku pun masih bungkam. Temanku
yang satu lagi tetap bisu. Keheningan berlanjut. Beberapa saat kemudian suaraku
memecah keheninganku dan teman-temanku; “Selalu ada harapan, bagi mereka yang
berdo’a. Selalu ada jalan, bagi mereka yang berusaha.”
Teman-temanku tersenyum, lalu rokok-rokok disumut, kopi-kopi
diseruput, aku dan teman-temanku pun akhirnya tertawa girang dengan candaan
penuh riang alias mereka tak lupa untuk berbahagia.
Tempattah tempatteh, jelenah jeleneh (tempatnya tempati, jalannya jalani). []
Gunung Kidul, 21 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar