Minggu, 20 Desember 2015

Sempak

Udara pagi begitu sejuk dan menenangkan hati. Ya barangkali memang sudah menjadi sifat pagi yang selalu menawarkan kisah baru yang belum pernah kita tahu, dan tak ada cara yang pas menyambutnya selain dengan semangat yang baru pula.

Seperti biasanya, kuawali hari pagi dengan memanjakan diri sendiri. Dengan secangkir kopi, beberapa rokok (kali ini cerutu, rokok ukuran besar yang terbuat dari balutan daun-daun tembakau), dan buku bacaan (kali ini buku sastra, DRAMA ITU BERKISAH TERLALU JAUH, kumpulan cerita pendek, karya Puthut EA). "Ah, bahagia itu memang sederhana, kawan!"

Kuambil kunci motor milikku, tapi kubatalkan, dan kuganti dengan kunci sepeda milik adik tingkatku. Tukeran. Mengingat aku tak ada kesibukan alias santai, sedang adik tingkatku masuk kuliah pagi.

Setiba di warung kopi, ternyata aku sudah dipesankan kopi oleh temanku yang lebih dulu pergi ke warung kopi. Aku duduk. Membuka tutup cangkir kopi, dan menyeruputnya.

"Dia sudah menjadi sempak." Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulut temanku yang berasal dari Jepara, Heraclius.

"Apa maksudmu?" Aku bertanya.

"Aku sendiri tak tahu." Jawab kawanku.

"Lantas, untuk apa kau mengeluarkan kalimat seperti itu? Apa gunanya bagimu?" Aku mencoba mengejar jawaban.

"Aku tak tahu." Jawab kawanku.

"Kalau begitu, biarkan aku memberi maksud atas kalimatmu itu. Kau berkata; "Dia sudah menjadi sempak". Barangkali kau hendak mengatakan nasi sudah menjadi bubur. Sempak terbuat dari kain katun, dan karena kain katun sudah menjadi sempak, maka ia tak dapat lagi dikembalikan ke bentuknya yang sediakala. Namun bagaimana pun sempak adalah alat yang cukup penting. Bagaimanapun sempak ada manfaatnya. Seperti koteka saudara-saudara kita yang ada di Papua. Seperti juga nasi yang sudah menjadi bubur, dan bubur yang tetap saja dapat kita nikmati. Pun dengan wanita pujaanmu, meskipun ia telah menjadi milik orang lain, kau masih dapat mencintainya dalam diammu, kau juga masih dapat menikmati keelokan paras cantiknya, dan kau juga tetap dapat mengirimkan untaian-untaian doa kepadanya. Hidup itu tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapi apa yang harus kita hadapi." Jelasku cukup panjang.

"Ya seperti itulah." Tanggap kawanku singkat.

Setelah itu mereka mulai tertawa cekikikan, menikmati waktu pagi dengan kebersamaan, dan memakan gorengan-gorengan panas secara perlahan. Ah, kehidupan seperti ini istimewa sekali bukan? []


Warung Kopi Mato, 15 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar