Udara pagi begitu sejuk dan menenangkan hati. Ya barangkali memang
sudah menjadi sifat pagi yang selalu menawarkan kisah baru yang belum pernah
kita tahu, dan tak ada cara yang pas menyambutnya selain dengan semangat yang
baru pula.
Seperti biasanya, kuawali hari pagi dengan memanjakan diri sendiri.
Dengan secangkir kopi, beberapa rokok (kali ini cerutu, rokok ukuran besar yang
terbuat dari balutan daun-daun tembakau), dan buku bacaan (kali ini buku
sastra, DRAMA ITU BERKISAH TERLALU JAUH, kumpulan cerita pendek, karya Puthut
EA). "Ah, bahagia itu memang sederhana, kawan!"
Kuambil kunci motor milikku, tapi kubatalkan, dan kuganti dengan
kunci sepeda milik adik tingkatku. Tukeran. Mengingat aku tak ada kesibukan
alias santai, sedang adik tingkatku masuk kuliah pagi.
Setiba di warung kopi, ternyata aku sudah dipesankan kopi oleh
temanku yang lebih dulu pergi ke warung kopi. Aku duduk. Membuka tutup cangkir
kopi, dan menyeruputnya.
"Dia sudah menjadi sempak." Tiba-tiba saja kalimat itu
keluar dari mulut temanku yang berasal dari Jepara, Heraclius.
"Apa maksudmu?" Aku bertanya.
"Aku sendiri tak tahu." Jawab kawanku.
"Lantas, untuk apa kau mengeluarkan kalimat seperti itu? Apa
gunanya bagimu?" Aku mencoba mengejar jawaban.
"Aku tak tahu." Jawab kawanku.
"Kalau begitu, biarkan aku memberi maksud atas kalimatmu itu.
Kau berkata; "Dia sudah menjadi sempak". Barangkali kau hendak
mengatakan nasi sudah menjadi bubur. Sempak terbuat dari kain katun, dan karena
kain katun sudah menjadi sempak, maka ia tak dapat lagi dikembalikan ke
bentuknya yang sediakala. Namun bagaimana pun sempak adalah alat yang cukup
penting. Bagaimanapun sempak ada manfaatnya. Seperti koteka saudara-saudara
kita yang ada di Papua. Seperti juga nasi yang sudah menjadi bubur, dan bubur
yang tetap saja dapat kita nikmati. Pun dengan wanita pujaanmu, meskipun ia
telah menjadi milik orang lain, kau masih dapat mencintainya dalam diammu, kau
juga masih dapat menikmati keelokan paras cantiknya, dan kau juga tetap dapat
mengirimkan untaian-untaian doa kepadanya. Hidup itu tergantung bagaimana kita
memandang dan menyikapi apa yang harus kita hadapi." Jelasku cukup
panjang.
"Ya seperti itulah." Tanggap kawanku singkat.
Setelah itu mereka mulai tertawa cekikikan, menikmati waktu pagi dengan
kebersamaan, dan memakan gorengan-gorengan panas secara perlahan. Ah, kehidupan
seperti ini istimewa sekali bukan? []
Warung Kopi Mato, 15 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar