Minggu, 20 Desember 2015

Kopi Sepanjang Hari

Andaikata aku kehabisan kata itu berarti aku kehabisan inspirasi, dan andaikata aku kehabisan inspirasi itu berarti aku kehabisan kopi. Kopi adalah nafas, sehingga dari pagi hingga pagi lagi, walau hujan datang menerjang, walau terik matahari begitu menyengat, aku tetap saja berangkat ngopi, tetap saja kujalani. Namanya juga pecinta kopi, walau terkadang berefek sakit dan lain sebagainya, tak masalah. Ya, kira-kira begitulah cinta, tak peduli apapun akan tetap disongsong, dan memang tidak bisa dideskripsikan dengan cara akademis, kritis, estetis atau apalah namanya.

Dulu aku pernah beberapa hari hidup tanpa kopi. Kulakukan demi pemulihan tubuhku yang kurang fit. Ternyata rasanya begitu tersiksa. Rasa sakitnya melebihi rasa sakitnya patah hati, ketika kau terdiam dan membisu, kemudian segelintir ingatan menyerang pikiranmu. Bahkan, ia semakin menyakitkan ketika kau mencoba melupakannya, dan kau sendiri tak tahu harus lari ke mana atau tak tahu harus berbuat apa. Dengan kata lain, selama ini aku beralih ke kopi hanya untuk mencoba menyelami makna hidup, bahwa betapa pun getirnya hidup, kau akan tetap baik-baik saja.

Kopi selalu saja dapat memberi nasehat kepada para penikmatnya. Aku dan kopi adalah sebuah tautan cinta yang mana semua itu masuk dalam rasa (kehidupan) tersembunyi oleh alam ruhku dan ruhnya sudah menjalin sebuah cinta, sebelum Tuhan menciptakan lempungnya Adam. Nah, tatkala kopi telah diracik, diseduh dan dinikmati, pada saat itu sesungguhnya hari baru dimulai. Tak peduli jam berapa, tak perlu atas nama siapa, tak perduli bersekutu atau berserikat. Setiap langkah pun akan menunju ke masa depan.

“Lalu apa itu perencanaan?” Tanyaku dalam diam.

“Hey, jangan serius-serius!” Temanku datang menegur dengan nada bercanda.

“Oh iya. Aku hanya berpetualang di alam pikir kok.” Aku menyanggah.

“Nah, di alam pikirmu itu kau menjadi liar, menjadi serius.” Temanku balik menyanggah.

“Haha... Seruput dulu kopinya, biar waras.” Aku tertawa getir, dan menawarkan kopi.

“Okay.” Jawab temanku ringkas.

Setelah menyeruput kopi, aku kembali terdiam dalam lamunan tak bertuan. Temanku benar. Selama ini aku selalu membiarkan diriku melalang buana, mencari idealisme yang ada di alam pikirku. Pengalaman, pikiran, dan lamunan, kesemua itu menjadi satu ketika aku mulai gelisah, dan aku selalu mencoba mencari jalan keluarnya, meskipun sampai kini aku masih belum mendapatkan jawabannya.

“Bahkan hermeneutika saja tidak cukup untuk memahami hatinya.”

Temanku yang tadi menegurku ternyata sedang bergelut asmara berkata. Aku terdiam, kawanku menatapku penuh harap menanti tanggapan. Aku sruput kopi yang masih panas itu, kunyalakan korek, kubakar gulungan tembakau, lalu berkata-kata kotor.

“Lantas, kau hendak memahaminya dengan apa lagi?” Aku balik bertanya.

“Entahlah. Padahal hermeneutika adalah alat cara yang cukup canggih untuk memahami sesuatu. Dalam bidangnya, bisa jadi anda tahu saya tetapi anda tidak memahami saya. Memahami berbeda dengan hanya mengetahui. Repotnya, terasa rumit ketika aku mencoba mendalaminya. Aku sudah mencoba mengetahui dirinya, sikapnya, dan prilakunya, tetapi hingga kini aku masih belum bisa memahami isi hatinya. Haha...” Temanku memberi penjelasan lebih, dan tertawa.

Jujur saja, aku sendiri sedang mengalami hal serupa temanku. Hampir setiap malam, diam-diam ada seorang perempuan dengan senyum manisnya nyelonong datang tanpa pamit, tanpa ketok pintu batok kepala. Ia hanya hadir padaku begitu saja. Kemudian aku mempersilahkan kehadirannya dengan senang hati dan suka rela. Tak tahukah kau, ini jam berapa? Aku tak tau juga. Hanya saja ini waktu bagi manusia melepas lelah, payah, lalu memejamkan mata. Dan Sepertinya aku pernah menjumpainya sekali secara nyata dan belum bisa mengenali dia seutuhnya. Tapi mengapa ia hadir secara tiba-tiba?

Ah, sudahlah! Meskipun ia nyata, ia hanya hadir secara maya. Mungkin ini insiden "Antara Ada dan Tiada" dalam judul dan lirik lagu yang dilantunkan Utopia. Hingga aku sadar, saat ini ia hanya bisa sebagai pengantar tidurku belaka (walau pada kenyataannya dari pagi hingga malam menyapa mataku tak kunjung terpejam pula).

Aku lalu membuang jauh pandanganku. Pada bambu penyanggah atap warung kopi itu terdapat figura tanpa gambar, bukan lukisan, melainkan sebuah tulisan. "Aku secangkir kopi saja, tanpa gula, Aku tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang dikodratkan pahit."

“Apa maksudnya?” Lagi-lagi aku bertanya dalam diam. “Barangkali apa adanya itu memang labih baik dari daripada memunafikkan diri sebelum ada luka dikemudian hari.” Aku mencoba meyakinkan pendapatku dengan cara yang sederhana.

Di warung kopi beragam kisah yang sering dibincangkan namun susah untuk disuratkan dapat ditemukan. Teman-temanku menyebutnya (warung kopi) dengan istilah "madrasah cinta", dan lewat madrasah cinta inilah aku gali kisah-kisah hingga aku lupa bahwa muka sudah terbanjiri oleh air kecut yang mendadak meluap basah. Lewat madrasah cinta pula kubangun puing-puing persaudaraan meski roda kehidupan terus berputar dengan semaunya. Saat ini, pagi buta yang tak lagi hening tersusup kepalsuan yang mementingkan citra hingga ada patokan tuk harga diri.

Sejurus kemudian, temanku yang lainnya datang. Kali ini ia tampak berbeda dengan kumis dan janggutnya yang lebat. Terus terang saja, temanku yang satu ini adalah orang yang paling tua dari segi umur dibanding teman-temanku lainnya. Temanku ini pernah bermukim di kota-kota di Indonesia, mulai dari kota asalnya Jepara, Jakarta, Kediri, hingga Yogyakarta. Aku biasa memanggilnya dengan "Komandan Tua".

“Apa kabarmu? Cukup lama kita tak saling temu.” Komandan Tua bertanya dan berbasa-basi.

“Seperti biasa, sibuk menata hati hingga tertata sedemikian rapi.” Jawabku lengkap.

“Haha... Dari dulu kamu itu tak pernah berubah, gagal move on.” Komandan Tua tertawa.

Aku ikut tertawa. Temanku yang sedang kalut asmara juga ikut tertawa. Perbincangan menjadi hangat, bahkan setiap detiknya semakin hangat. Rokok-rokok dibakar, ampas kopi yang telah habis dijadikan kreasi seni batik di kertas rokok. Rokok dan kopi habis. Pesan lagi, dan tertawa kembali. Semua itu terus saja terulang di warung kopi, dan tak akan dapat ditemukan di tempat-tempat lain.

Tiba-tiba, tanpa angin, tanpa hujan dan tanpa diduga-duga Komandan Tua berkata, “War is Over, If You Want it.” Seketika itu pula perbincangan yang sebelumnya hangat berubah menjadi suasana serius dengan raut wajah antusias.

“John Lennon di sisa hidupnya pernah berkata seprti itu, "War is Over, If You Want it." Memang tidak bisa dipungkiri bahwa semua manusia ingin hidup damai (life in peace), semua orang dalam kewajarannya pasti berharap hal demikian bersemayam dihidupnya, hidup damai tiada pertengkaran, peperangan, rukun damai sejahtera. Akan tetapi semua hal itu tidak bisa hanya sekedar sebagai impian, mimpi dalam buaian. Oleh karenanya setelah kata "War is Over", John Lennon melanjutkannya dengan kalimat, "If You Want it" (jika kamu menginginkannya), karena disisi lain, pertengkaran, peperangan itu ada proses panjang dalam keterjadianya, dan di dalam proses itu manusia bisa memilih di antara dua pilihan, melanjutkan keinginan untuk bertengkar/berperang atau keinginan untuk tidak meluapkan keinginan untuk berperang, hanya dua pilihan itu. Kelihatanya enteng, tapi jika diselami dalam beberapa kasusnya, pemilihan antara dua pilihan itu sangat delematis.” Jelas Komandan Tua.

“Terhadap segala keadaan dan pristiwa, sejatinya pertengkaran/peperangan tiada bagus-bagusnya, jika diperankan orang dewasa ia terlihat seperti anak-anak kembali. Ketika kesadaran menghampiri, pertengkaran menyisakan penyesalan yang tiada henti, karena ketika manusia bertengkar/berperang sejatinya seketika itu ia sedang tercabut dari kodrat kejiwaan manusianya yang suci yang selalu merindu damai abadi. War Is Over, If You Want it!” Pungkas Komandan Tua.

Pagi yang hangat dan sebentar lagi akan panas menyengat. Awan memberat menyimpan debit air hujan yang tak kunjung tumpah ruah. Hanya satu cara yang dapat menumpahkannya, yakni dengan doa. Berdoa dan berharap dapat menyobek mendung yang menyimpan hujan, agar bumi dibasahi rahmat. Sudah cukup tanah disiram darah, sudah cukup belahan bumi ditanami yatim yang kehilangan orang tuanya atau orang tua yang kehilangan anaknya, sudah cukup ladang ditanami gedung mewah gagah namun congkak lagi sombong. []


Yogyakarta, 08 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar