Andaikata aku kehabisan kata itu berarti aku kehabisan inspirasi,
dan andaikata aku kehabisan inspirasi itu berarti aku kehabisan kopi. Kopi
adalah nafas, sehingga dari pagi hingga pagi lagi, walau hujan datang menerjang,
walau terik matahari begitu menyengat, aku tetap saja berangkat ngopi, tetap
saja kujalani. Namanya juga pecinta kopi, walau terkadang berefek sakit dan
lain sebagainya, tak masalah. Ya, kira-kira begitulah cinta, tak peduli apapun
akan tetap disongsong, dan memang tidak bisa dideskripsikan dengan cara akademis,
kritis, estetis atau apalah namanya.
Dulu aku pernah beberapa hari hidup tanpa kopi.
Kulakukan demi pemulihan tubuhku yang kurang fit. Ternyata rasanya begitu tersiksa.
Rasa sakitnya melebihi rasa sakitnya patah hati, ketika kau terdiam dan
membisu, kemudian segelintir ingatan menyerang pikiranmu. Bahkan, ia semakin
menyakitkan ketika kau mencoba melupakannya, dan kau sendiri tak tahu harus
lari ke mana atau tak tahu harus berbuat apa. Dengan kata lain, selama ini aku
beralih ke kopi hanya untuk mencoba menyelami makna hidup, bahwa betapa pun
getirnya hidup, kau akan tetap baik-baik saja.
Kopi selalu saja dapat memberi nasehat kepada para
penikmatnya. Aku dan kopi adalah sebuah tautan cinta
yang mana semua itu masuk dalam rasa (kehidupan) tersembunyi oleh alam ruhku
dan ruhnya sudah menjalin sebuah cinta, sebelum Tuhan menciptakan lempungnya Adam.
Nah, tatkala kopi telah diracik,
diseduh dan dinikmati, pada saat itu sesungguhnya hari baru dimulai. Tak peduli
jam berapa, tak perlu atas nama siapa, tak perduli bersekutu atau berserikat. Setiap
langkah pun akan menunju ke masa depan.
“Lalu apa itu perencanaan?” Tanyaku dalam diam.
“Hey, jangan serius-serius!” Temanku datang menegur
dengan nada bercanda.
“Oh iya. Aku hanya berpetualang di alam pikir kok.”
Aku menyanggah.
“Nah, di alam pikirmu itu kau menjadi liar, menjadi
serius.” Temanku balik menyanggah.
“Haha... Seruput dulu kopinya, biar waras.” Aku tertawa
getir, dan menawarkan kopi.
“Okay.” Jawab temanku ringkas.
Setelah menyeruput kopi, aku kembali terdiam dalam
lamunan tak bertuan. Temanku benar. Selama ini aku selalu membiarkan diriku
melalang buana, mencari idealisme yang ada di alam pikirku. Pengalaman,
pikiran, dan lamunan, kesemua itu menjadi satu ketika aku mulai gelisah, dan
aku selalu mencoba mencari jalan keluarnya, meskipun sampai kini aku masih
belum mendapatkan jawabannya.
“Bahkan hermeneutika saja tidak cukup untuk memahami
hatinya.”
Temanku yang tadi menegurku ternyata sedang bergelut
asmara berkata. Aku terdiam, kawanku menatapku penuh harap menanti tanggapan.
Aku sruput kopi yang masih panas itu, kunyalakan korek, kubakar gulungan
tembakau, lalu berkata-kata kotor.
“Lantas, kau hendak memahaminya dengan apa lagi?”
Aku balik bertanya.
“Entahlah. Padahal hermeneutika adalah alat cara
yang cukup canggih untuk memahami sesuatu. Dalam bidangnya, bisa jadi anda tahu saya tetapi anda tidak memahami saya. Memahami
berbeda dengan hanya mengetahui. Repotnya, terasa rumit ketika aku mencoba mendalaminya.
Aku sudah mencoba mengetahui dirinya, sikapnya, dan prilakunya, tetapi hingga
kini aku masih belum bisa memahami isi hatinya. Haha...” Temanku memberi
penjelasan lebih, dan tertawa.
Jujur saja, aku sendiri sedang mengalami hal serupa temanku. Hampir
setiap malam, diam-diam ada seorang perempuan dengan senyum manisnya nyelonong
datang tanpa pamit, tanpa ketok pintu batok kepala. Ia hanya hadir padaku
begitu saja. Kemudian aku mempersilahkan kehadirannya dengan senang hati dan
suka rela. Tak tahukah kau, ini jam berapa? Aku tak tau juga. Hanya saja ini
waktu bagi manusia melepas lelah, payah, lalu memejamkan mata. Dan Sepertinya
aku pernah menjumpainya sekali secara nyata dan belum bisa mengenali dia seutuhnya.
Tapi mengapa ia hadir secara tiba-tiba?
Ah, sudahlah! Meskipun ia nyata, ia hanya hadir secara maya.
Mungkin ini insiden "Antara Ada dan Tiada" dalam judul dan lirik lagu
yang dilantunkan Utopia. Hingga aku sadar, saat ini ia hanya bisa sebagai pengantar
tidurku belaka (walau pada kenyataannya dari pagi hingga malam menyapa mataku
tak kunjung terpejam pula).
Aku lalu membuang jauh pandanganku. Pada bambu penyanggah atap warung
kopi itu terdapat figura tanpa gambar, bukan lukisan, melainkan sebuah tulisan.
"Aku secangkir kopi saja, tanpa gula, Aku tak terlalu suka pemanis untuk
hal-hal yang memang dikodratkan pahit."
“Apa maksudnya?” Lagi-lagi aku bertanya dalam diam. “Barangkali apa
adanya itu memang labih baik dari daripada memunafikkan diri sebelum ada luka
dikemudian hari.” Aku mencoba meyakinkan pendapatku dengan cara yang sederhana.
Di warung kopi beragam kisah yang sering dibincangkan namun susah
untuk disuratkan dapat ditemukan. Teman-temanku menyebutnya (warung kopi)
dengan istilah "madrasah cinta", dan lewat madrasah cinta inilah aku
gali kisah-kisah hingga aku lupa bahwa muka sudah terbanjiri oleh air kecut
yang mendadak meluap basah. Lewat madrasah cinta pula kubangun puing-puing
persaudaraan meski roda kehidupan terus berputar dengan semaunya. Saat ini, pagi
buta yang tak lagi hening tersusup kepalsuan yang mementingkan citra hingga ada
patokan tuk harga diri.
Sejurus kemudian, temanku yang lainnya datang. Kali ini ia tampak
berbeda dengan kumis dan janggutnya yang lebat. Terus terang saja, temanku yang
satu ini adalah orang yang paling tua dari segi umur dibanding teman-temanku
lainnya. Temanku ini pernah bermukim di kota-kota di Indonesia, mulai dari kota
asalnya Jepara, Jakarta, Kediri, hingga Yogyakarta. Aku biasa memanggilnya
dengan "Komandan Tua".
“Apa kabarmu? Cukup lama kita tak saling temu.” Komandan Tua bertanya
dan berbasa-basi.
“Seperti biasa, sibuk menata hati hingga tertata sedemikian rapi.”
Jawabku lengkap.
“Haha... Dari dulu kamu itu tak pernah berubah, gagal move on.”
Komandan Tua tertawa.
Aku ikut tertawa. Temanku yang sedang kalut asmara juga ikut
tertawa. Perbincangan menjadi hangat, bahkan setiap detiknya semakin hangat.
Rokok-rokok dibakar, ampas kopi yang telah habis dijadikan kreasi seni batik di
kertas rokok. Rokok dan kopi habis. Pesan lagi, dan tertawa kembali. Semua itu
terus saja terulang di warung kopi, dan tak akan dapat ditemukan di
tempat-tempat lain.
Tiba-tiba, tanpa angin, tanpa hujan dan tanpa diduga-duga Komandan
Tua berkata, “War is Over, If You Want it.” Seketika itu pula perbincangan yang
sebelumnya hangat berubah menjadi suasana serius dengan raut wajah antusias.
“John Lennon di sisa hidupnya pernah berkata seprti itu, "War
is Over, If You Want it." Memang tidak bisa dipungkiri bahwa semua manusia
ingin hidup damai (life in peace), semua orang dalam kewajarannya pasti
berharap hal demikian bersemayam dihidupnya, hidup damai tiada pertengkaran,
peperangan, rukun damai sejahtera. Akan tetapi semua hal itu tidak bisa hanya
sekedar sebagai impian, mimpi dalam buaian. Oleh karenanya setelah kata "War
is Over", John Lennon melanjutkannya dengan kalimat, "If You Want it"
(jika kamu menginginkannya), karena disisi lain, pertengkaran, peperangan itu
ada proses panjang dalam keterjadianya, dan di dalam proses itu manusia bisa
memilih di antara dua pilihan, melanjutkan keinginan untuk bertengkar/berperang
atau keinginan untuk tidak meluapkan keinginan untuk berperang, hanya dua
pilihan itu. Kelihatanya enteng, tapi jika diselami dalam beberapa kasusnya,
pemilihan antara dua pilihan itu sangat delematis.” Jelas Komandan Tua.
“Terhadap segala keadaan dan pristiwa, sejatinya
pertengkaran/peperangan tiada bagus-bagusnya, jika diperankan orang dewasa ia
terlihat seperti anak-anak kembali. Ketika kesadaran menghampiri, pertengkaran
menyisakan penyesalan yang tiada henti, karena ketika manusia
bertengkar/berperang sejatinya seketika itu ia sedang tercabut dari kodrat
kejiwaan manusianya yang suci yang selalu merindu damai abadi. War Is Over, If
You Want it!” Pungkas Komandan Tua.
Pagi yang hangat dan sebentar lagi akan panas
menyengat. Awan memberat menyimpan debit air hujan yang tak kunjung tumpah
ruah. Hanya satu cara yang dapat menumpahkannya, yakni dengan doa. Berdoa dan
berharap dapat menyobek mendung yang menyimpan hujan, agar bumi dibasahi
rahmat. Sudah cukup tanah disiram darah, sudah cukup belahan bumi ditanami
yatim yang kehilangan orang tuanya atau orang tua yang kehilangan anaknya,
sudah cukup ladang ditanami gedung mewah gagah namun congkak lagi sombong. []
Yogyakarta, 08 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar