Aku sendiri berteman sepi, di malam menjelang pagi dengan irama
sunyi. Suara jangkrik terdengar. Dentingan jam penanda waktu melambat.
Kebanyakan manusia telah larut di dalam mimpi. Namun tidak bagiku. Bagiku, di
suasana inilah masa permenungan paling tepat bagi setiap insani yang hidup di
muka bumi untuk mensiasati kehidupan alam fana ini. Ya, walaupun dalam
permenunganku lebih sering membuka lembaran luka-luka yang ada di masa lalu,
dan menjadikannya mengharu biru.
Apa kabarmu? Kurang lebih 2 tahun sejak terakhir
kali kita bertemu di tempat itu dan kini aku sangat ingin bertemu denganmu. Ya,
sebatas menyediakan punggungku untuk menjadi tempatmu bersandar, melepas
keluh-kesah yang menjadikanmu gelisah, atau sekedar menyediakan tanganku untuk
mengusap bulir airmatamu yang tak terbendung oleh sang waktu. Ah, betapa cinta
begitu mendera.
Aku tak tahu harus berbuat apa. Nafasku sesak, tangan dan kakiku
terasa sangat berat. Rasanya, ini bukan tubuhku sendiri. Pikiranku sudah sangat
lelah. Otakku seolah dilempar sesuatu hingga terasa akan pecah. Sampai-sampai
aku tak tahu, keadaan apa ini? Apakah ini rasanya bila kau tak mampu berdamai
dengan sang waktu sedang kau selalu diburu rindu? Tak tahukah kau? Bahwa aku
selalu harus rela bertahan dengan keadaan ini dalam tempo waktu yang tak
menentu. Ya, untuk sekedar melepas rindu, ternyata waktu hanya diam membisu dan
tak mau berdamai denganku. Sedu dan sedan bergabung menjadi satu. Isak tangis
menggebu jatuh dalam bulir air mataku. Aku pun hanya bisa melihat dan
memperhatikanmu sebatas gambar balutan potret yang kucuri dari akun
media-sosialmu.
"Hai waktu, bisakah kau berdamai denganku, untuk melepas rindu
yang mengendap di dadaku, terhadap sosok di kejauhan yang sekelebat bayangnya
menari-nari di benakku?" Tanyaku dalam diam.
"Wahai saudaraku! Aku bisa saja berdamai denganmu, dengan
catatan jangan pernah kau pergi meninggalkanku sendiri. Setialah kepadaku.
Hargailah aku." Jawab sang waktu.
"Bagaimana mungkin aku tak meninggalkanmu, sedang kau terus
berlari tanpa pernah mau menunggu? Bukankah berdamai kepada waktu cukuplah
berdamai kepada waktu, bukan untuk pergi ataupun tinggal?" Aku mengejar
jawaban.
"Kalau begitu aku tak mau berdamai denganmu. Biarlah umurmu
habis karena terus menerus memikirkan sosok yang kau rindu, yang mengisi
malam-malam panjangmu dengan helaan nafas panjang pula, yang mempersilahkan
sekelebat bayangan muncul di pelupuk matamu, yang menari-nari, yang berlari-lari
tanpa mau pergi. Habislah kewarasanmu, memikirkannya." Ucap sang waktu.
"Bagaimana mungkin kau tak mau berdamai denganku? Bukankah kau
sendiri ada yang memiliki? Apakah kau melupakan penciptamu, Sang Paduka Alam
Raya?" Aku kembali mengejar jawaban.
"Kalau begitu baiklah. Terserah kau hendak melakukan apa. Aku
serahkan kembali semuanya kepada pemilikku. Dekati saja pemilikku, mungkin saja
Dia akan bermurah hati kepadamu." Gumam sang waktu
Aku benci mengakuinya, tetapi apa yang sang waktu katakan ada
benarnya. Aku mungkin memang benar-benar tak akan mampu berdamai dengan sang
waktu untuk rebah dalam dekapanmu, untuk rebah dalam dekapan rindu, karena bisa
jadi aku terlalu terburu-buru. Aku seolah melupakan satu kebijaksaan sederhana,
bahwa apa yang aku anggap baik belum tentu baik bagiku, begitu pula sebaliknya.
Aku seolah melupakan-Nya, melupakan asma-Nya, melupakan kasih sayang-Nya. Aku
harus kembali mendekati Sang Paduka Alam Raya, agar aku semakin tahu bahwa Sang
Paduka Alam Raya amat sayang padaku. Tetapi, ah betapa bodohnya aku. Sudah tahu
itu salah, namun tetap saja dilakukan. Sudah tahu apa yang harus kukerjakan,
namun tetap saja aku ingkar.
"Hai waktu, aku bisa saja mendekati penciptamu. Namun aku
sadar bahwa kaulah sang waktu, kaulah sang masa di mana kehidupanku berada.
Ialah masa muda dan masa tua. Masa muda yang akan berbuah kemuliaan, yang tidak
akan ditemukan di masa tua." Aku membantah.
"Tetapi sebelum itu, aku telah lama tahu bahwa kau pernah
memiliki sosok yang menguatkan dan menerima dirimu apa adanya, yang kini pergi
meninggalkanmu dengan luka yang menganga lebar. Aku tahu bahwa hari-harimu
selalu sepi tanpanya. Aku tahu bahwa di setiap jejak langkahmu selalu hadir
bayangannya. Aku juga tahu bahwa terkadang kau meneteskan airmata untuknya, tatkala
orang yang kau puja melepaskan dirinya dari bayang-bayangmu, dan memberikan
cintanya kepada orang lain selain dirimu. Saranku, kau tak perlu merasa gusar.
Cukuplah bagimu untuk merasa tak apa. Berat memang, namun percayalah bahwa kau
harus bangkit. Jangan hanya menghitung apa yang hilang darimu. Hitunglah apa
yang masih kau miliki. Bukankah kau masih memiliki keluarga yang senantiasa
memperhatikanmu dari kejauhan sana? Bukankah kau mempunyai adik-adik kecil yang
begitu bangga dengan kakaknya? Pahamilah, niscaya bahagia akan menyapamu dengan
segenap tulusnya." Jelas sang waktu.
Aku terkejut. Ternyata sang waktu tahu apa yang selama ini kututup
dalam diam. Kali ini aku tak bisa lagi ingkar, karena apa yang dikatakan sang
waktu adalah kebenaran. Aku tak bisa menyangkal kebenaran. Harus kuakui, bahwa
selama ini hari-hariku berlalu dengan membosankan, hidupku seolah hilang karena
usang. Tak ada rintangan, tak ada tantangan, pun tak ada kedisiplinan. Tak
tersisa tanpa kesan, tanpa harapan dan sebuah pesan. Semua itu terjadi karena
kebodohanku. Aku yang selalu ingkar, tahu akan suatu hal tetapi berpura-pura
tidak tahu, tahu harus berbuat apa tetapi tetap saja tidak beranjak dari tempat
duduk, dan tahu harus beralih tetapi tetap saja berdiam diri.
"Terimakasih waktu, kau telah menyadarkanku. Kau mengajarkanku
akan pelbagai hal, yakni aku harus siap sedia mewakafkan diri untuk masyarakat,
berkutat langsung dengan kehidupan nyata dibanding kehidupan maya, mengambil
pelajaran dan kebijaksanaan di balik fenomena yang ada, meneguhkan hati yang
terang karena lapang, senantiasa dekat dengan ilmu atau orang yang berilmu di
setiap waktu, dan tentu saja, tidak menganggap diri lebih dari yang lainnya. Dengan
asma Sang Paduka Alam Raya, semoga dapat menemukan kebahagiaan sejati, ialah
membahagiakan orang lain." Aku berkata kepada sang waktu.
Waktu kemudian pergi entah ke mana.
"Mas, sudah shalat subuh?" Suara adik tingkatku
membuyarkan lamunan tak bertuanku.
"Oh, sudah adzan ya?" Aku berusaha mnyesuaikan diri.
"Hehe... Barusan adzan kok. Mas dari tadi ngelamun aja
sih." Adik tingkatku tersenyum.
"Ya seperti biasanya." Aku pun tersenyum, pergi mengambil
wudlu, dan shalat subuh.
Padahal sedari tadi aku menunggu waktu subuh tiba, dan ternyata
waktu subuh telah tiba, suara adzan pun telah berkumandang tanpa aku sadari.
Mataku masih belum terpejam. Aku masih terjaga. Pertanda bahwa aku butuh waktu
yang tepat untuk memejamkan mata, walau hanya sesaat, walau hanya sekali lewat,
atau membiarkan kepala semakin memberat, pikiran semakin serat, dan sembilu
semakin menyayat.
Namun, aku seringkali melakukan hal-hal yang jarang terlintas di
benak pikir manusia pada umumnya. Alih-alih istirahat, malah pergi ke warung
kopi. Mencopot sarung, menggantinya dengan celana. Melepas kemeja, menggantinya
dengan kaos oblong. Beres-beres sekedarnya. Mensakukan dompet, mengambil kunci
rantai, membuka rantai sepeda, mengeluarkannya, dan menggowesnya dengan santai.
Di persimpangan jalan, aku terhenti. Tatkala menyaksikan secara
langsung keindahan langit. Langit hitam yang sedari malam mulai menampakkan
kepekatannya, perlahan berganti dengan langit biru. Pelbagai warna mewarnai
pergantian ini. Bulan terlihat separuh. Matahari mulai terlihat di ufuk timur.
Rona hijau di langit yang jarang diketahui manusia begitu jelas terlihat oleh
mata telanjangku. Sinar jingga perlahan naik bersama pesona kemerahan. Ah,
beruntung sekali aku dapat menyaksikannya di ranah perantauanku ini. Aku
berjanji untuk mencoba berusaha menyaksikannya lagi. Sebanyak mungkin.
Sepeda kembali kugowes. Jalanan masih sepi. Hanya satu-dua mobil,
dan beberapa penggowes sepeda sepertiku yang menguasai jalan. Terlihat seorang
manusia sedang berjalan-jalan dengan anjing peliharaannya. Berjalan-jalan
sekedarnya, seadanya karena cinta. Tak terasa aku telah sampai di warung kopi.
"Pesen apa Cak?" Tanya penjaga kasir warung kopi.
"Biasa, kopi kotok agak manis." Aku menjawab.
"Okay Cak." Penjual kopi menyanggupi.
"Aku duduk di depan ya." Aku mengindikasikan tempat
duduk.
Langit cerah. Kepekatan malam hilang. Di depanku terlihat sepasang
kekasih. Mereka saling berbagi canda tawa. Sekilas terlihat, mereka tampak
serasi. Perempuan berkacamata dan laki-laki tinggi sebagai penjaganya. Kuperhatikan
dengan seksama. Tangannya si lelaki perlahan membelai rambutnya yang lurus.
Lalu perempuan itu mengeluarkan sesuatu, laki-laki itu juga. Rokok, mereka
membakarnya, dan menghisapnya. Habis. Beberapa saat kemudian mereka pulang
bersama. Ah, hal yang seperti itu sudah biasa ada di kota besar. Kau tak perlu
heran dibuatnya.
Aku mengeluarkan buku bacaan. Membacanya sebentar sembari menunggu
kopi datang diantar. Mencoba mengambil inti sarinya, mencoba mengambil
pelajaran dan kebijaksanaan yang ada dalam di buku. Sekilas tentang buku, ia
adalah sang saksi bisu dari peradaban yang bermutu. Aku pernah dibuat kalang
kabut ketika buku-buku yang biasa bertengger di lemariku tak ada seperti
sediakala. Anehnya, banyak pula buku-buku yang bukan bukuku bertengger di
lemariku. Apakah ini sebuah
cerita saling tukar-menukar buku antar satu orang dengan orang lainnya? Buku-bukuku
banyak yang tak ada, dan banyak pula buku-buku bukan milikku yang ada dalam lemariku.
Lalu, bagaimana dengan semua itu?
Akhirnya aku merelakan buku-buku yang biasa
bertengger di lemariku tak ada seperti sediakala. Dengan syarat, buku-bukuku
bermanfaat bagi khayalak pada umumnya dan ada yang berkenan membacanya. Toh
sebagai gantinya ada buku-buku lain yang bertengger di lemariku. Namun jangan
salah sangka, aku tak kan mengklaim apa yang bukan milikku, bila ada yang
merasa buku miliknya bertengger di lemariku, silahkan diambil saja. Karena aku
memahami perasaan buku, yang senantiasa merindukan pembacanya (terlebih dari
pemiliknya yang berulangkali membacanya dan yang senantiasa menjaganya).
Aku pribadi berpendapat bahwa bacaan buku itu lebih
menggoda dan seksi guna membuka lembaran-lembaran kebodohan yang ada dalam
diri. Melebihi godaan perempuan seksi yang tawarkan kenikmatan dan kepuasan
diri. Pun, ketenangan itu ada ketika bersanding dengan pengetahuan dan ilmu
pengetahuan. Buku-buku yang terus bercerita kepadaku sembari terus membuka
kebodohan-kebodohan yang ada dalam diriku tanpa mau mengenal waktu. Aku pun hanya
bisa menjawab buku dengan kata "Owh iya ya."
Aku tak rela bila ada buku yang berserakan tak
terurus. Aku sangat menghormati buku, karena buku adalah jendela ilmu. Dengan
membaca buku akan banyak ilmu yang didapat, akan banyak hal yang dapat
diketahui, dan akan bertambahnya wawasan serta kebijaksanaan dalam diri, yakni menjadi
lebih bijak dalam menanggapi atau menghadapi pelbagai persoalan hidup.
Tak salah bila orang mengatakan bahwa orang bijak
adalah orang yang banyak membaca. Membaca apa yang terjadi dalam hidup ini
sehingga dia menjadi orang berilmu. Orang berimu biasanya akan menjadi orang
yang arif bijaksana. Sebab melihat segala permasalahan kehidupan dari berbagai
sudut yang telah diketahuinya, dan mungkin inilah yang dimaksud dengan,
“Reading books makes you better”.
Selain itu, membaca buku yang diawali dari halaman
pertama sampai dengan halaman terakhir hingga tamatlah buku yang dibaca itu
"istimewa". Bagaimana tidak, pada halaman pertama, kita dapat membaca
dan mengetahui latar belakang penulisan buku yang dibaca, tepatnya kenapa buku
yang dibaca itu ditulis. Lebih dari itu, ketika sampai pada halaman terakhir,
kita dapat membaca dan mengetahui seorang author (penulis) buku yang dibaca
itu.
Dengan begitu, setidaknya kita mendapat pengetahuan
lebih di samping isi kandungan dari buku yang dibaca. Walau tertatih dan
terlunta saat membaca buku yang dibaca, tak masalah. Toh itu merupakan bagian
dari proses pemahaman yang kemudian diharapkan dapat berbuah sikap
kebijaksanaan bahwa kita ini sejatinya memang tidak tahu apa-apa. Maka benarlah
apa yang dikatakan oleh Socrates; "Satu hal yang aku tahu, bahwa aku tak
tahu apa-apa."
Kopiku akhirnya datang. Masih panas. Kuangkat tutup cangkir. Kucium
dalam aroma khasnya. Perlahan kutuangkan ke dalam mangkuk cangkir, dan
kuseruput. Kopi hitam kental nan pekat, darinyalah
sumber inspirasi, pelajaran dan kebijaksanaan kudapat.
Matahari terbit. Kawan-kawanku mulai berdatangan ke
warung kopi, pergi ke penjaga kasir, memesan kopi, membeli rokok, lalu kami
mulai bercanda ringan, mulai tertawa bersama-sama, mulai terbahak-bahak. []
Yogyakarta, 07 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar