Semilir angin berhembus pelan. Daun-daun di pucuk pohon jatuh dan
tumbuh bergantian. Burung-burung Murai berkicau dengan suaranya yang lantang.
Air sungai mengalir deras, suaranya lirih terdengar. Matahari perlahan
menyingsing.
Detik demi detik berlalu, namun degup jantung dan rasa gemetar
dalam diriku tidak juga mau berlalu. Aku melihatmu, kau tak melihatku. Aku
memperhatikanmu, kau tak memperhatikanku. Aku diam seribu bahasa, kau tertawa
riang bahagia. "Ah, sudahlah!"
Kuambil tas ransel. Kurogoh pena dan buku catatan. Tak ada. Kurogoh
kembali. Tetap tak ada. Kucari dengan teliti. Tetap saja tak ada. Ya,
barangkali ketinggalan di kediaman. Padahal aku hendak menulis, tapi pena dan
buku catatanku ketinggalan. "Ah, sudahlah!"
Kuberpikir. "Menulis pakai apa?" Ada spidol dan dinding
di sampingku. "Ide bagus!" Tak ada kertas, dinding pun jadi perantara
aku menumpahkan segala yang kurasa. Aku mulai menulis. Huruf demi huruf, kata
demi kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusunlah sebuah paragrah. Selesai.
Tertulis dengan gamblang; "Kau harus tahu satu hal, bahwa aku tetap cinta
kepadamu. Namun, caraku mencintaimu adalah dengan jalan yang paling sunyi,
diam. Karena itu cara terbaikku untuk tetap mencintaimu, karena apa yang
kulakukan tak cukup untuk membuatmu percaya dan tak cukup membuatmu sadar.
Semoga Tuhan senantiasa menjagamu, wahai wanita penunggu senja."
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Kuambil, kulihat dan
kuperhatikan dari siapa panggilan itu? Dari sosok yang sedari dulu hingga sekarang
senantiasa mengayomiku, Ibu. Kuangkat telepon genggamku, dan suara renyah
terdengar.
"Apa kabar anak tuaku?" Ibuku bertanya.
"Puji Tuhan, baik-baik saja, Bu!" Aku menjawab.
"Kapan kau pulang ke rumah? Ibu rindu."
"Bila waktu dan Tuhan mengizinkanku, Bu!"
"Tugas akhirmu, sudah selesai?"
"Sudah masuk Bab yang paling penting dari segala Bab Bu, yakni
Bab niat." Aku tertawa kecut. “Mohon doa dan dukungan dari Ibu ya, semoga
cepat kelar tanpa aral.” Pungkasku.
"Ya semoga dimudahkan ya Nak."
"Amin yaa Rabb. Oh ya, Bu, besok tanggal 30. Ada pameran JBS
(Jual Buku Sastra) di sini (Yogyakarta). Ada beragam buku-buku unik dan langka
yang disediakan dengan status limited akses. Ibu pasti tau, anak sulung Ibu ini
semangatnya sedang menggebu-gebu." Aku meminta pengertian dari Ibu.
"Hehe... Nanti disumbang." Ibuku mengerti apa yang
kumaksud, menjawab dengan sederhana, dan sepertinya Ibuku tertawa ringan penuh
bahagia di kejauhan sana.
"Hehe... Terimakasih banyak Bu. Anak sulung Ibu ini janji,
pasti akan jadi filsuf!" Aku mengucapkan terimakasih dan menyampaikan
janji hasratku."
"Hehe... Semoga terwujud ya Nak."
Perbincangan selesai. Telepon ditutup. Aku mengamini ucapan Ibuku,
yang juga merupakan janji hasratku. Ya begitulah, walau jauh, keluarga akan
selalu menjadi harta yang begitu berharga. Mereka istimewa, dan termasuk dari
salah satu karunia tak terhingga yang diberikan Tuhan.
Angin berhembus sepoi-sepoi. Matahari membias di langit pucat dan
pias kelabu. Pesona pancaran sinar senja siap menyihir siapa saja yang
melihatnya. Pancaran sinar merah yang terlihat begitu indah. Sesekali sinar itu
tertutupi awan yang bergerak secara berbondong-bondong. Memabukkan. Akan tetapi
sayang, panorama keindahan seperti itu hanya sebentar saja, hanya berlalu dan
sisakan setumpuk rindu di dada.
Dialog bisu pun terjadi. Perdebatan sengit sedang bergemuruh di
hatiku. Seperti itukah kisah cintaku dengan dirimu? Begitu indah, namun hanya
sesaat? Ironinya, aku mabuk dibuatnya. Namun tak apa. Walau begitu, walau
secara fisik aku tak berada di sampingmu, namun secara jiwa aku senantiasa
memeluk dan menciummu. Akan tetapi, benarkah begitu? Apakah justeru tidak
sebaliknya? Entahlah.
Ya, barangkali ada saat di mana kita lebih baik diam tanpa perlu
mengutarakan isi hati yang terdalam. Terkadang itu pilihan pahit di antara
pilihan baik, dan terkadang terjadi sebaliknya. Karena sifat dasar manusia suka
berbagi (melalui bicara), dan pada akhirnya hanya sebuah simpul senyum yang dapat mewakili ribuan bahasa dan rasa.
Damai.
Aku tahu bahwa dua hari yang lalu, tepatnya 27 Desember 21 tahun
yang lalu, adalah masa di mana kau pertama kali menghembuskan nafas dan
menghirup udara di dunia. Kau adalah orang yang amat kucinta. Namun, aku tak
dapat berbuat apa-apa. Lagi-lagi, ironinya, aku tak merasa memiliki
tanggungjawab untuk berbuat apa-apa di hari bersejarahmu ini.
Salah siapa kau biarkan aku kecewa. Terluka saat mencarimu kau tak
pernah ada, tersiksa tak ada kabar berita, seakan kau benar-benar tak peduli
dengan apa yang kurasa. Ya, barangkali karena lelah yang sepertinya jenuh, atau
mungkin karena terlalu lama kita terpisah jauh, hingga hatiku padamu perlahan
runtuh, tak lagi padamu rasaku berlabuh.
Awalnya aku ragu akanmu, tetapi kau membuatku percaya dengan buaian
kata-kata manismu, “Aku tak akan pergi meninggalkanmu”. Dan pada akhirnya, apa
yang aku takutkan selama ini terjadi. Kau pun pergi. Dadaku sakit. Jiwaku
berdesir. Otakku berputar, seolah ingin berhenti. Ia beku seakan aliran darah
di dalamnya mampat seketika. "Oh Tuhan, jikalau Kau ciptakan hati dan
tubuhku ini dari kaca, pasti aku sudah berpuing... hancur!"
Setelah kau pergi meninggalkanku, aku bagaikan sebuah perahu kecil
yang tak dapat masuk ke dalam dermaga. Bukan karena ia tak layak memasukinya,
melainkan karena ia dilarang untuk memasukinya. Sehingga membuat perahu kecil
yang rapuh itu terombang-ambing di lautan, menunggu datangnya ombak yang akan
menyapunya... tenggelam!
Waktu pun terus berputar dan berlalu tanpa mau menunggu. Jiwa yang
lelah karena tiadanya tempat untuk berbagi, flu yang seringkali datang
menghampiri dan batuk yang semakin menjadi-jadi adalah pertanda bahwa memang
sudah saatnya berpindah hati. Dengan terlunta-lunta, lambat tapi pasti, aku
perlahan bangkit. Aku perlahan mengingkari kehadiranmu. Hati kecilku berkata
halus, "Maaf, aku harus beralih darimu. Bukan karena rasaku berubah
ataupun berkurang. Melainkan aku kasihan terhadap tubuhku sendiri, tubuh yang
sakit-sakitan karena terlalu sering memikirkanmu."
Kini aku merasa lebih kuat, dan bisa melakukan segalanya
(setidaknya tak ada kata ragu bagiku yang sekarang ini untuk mencoba beragam hal
ini dan itu). Kau pun harus tahu satu hal, bahwa kau masih dapat ambil bagian
dari hidupku, atau kau masih dapat hadir di hidupku. Tetapi tidak akan pernah
seperti dulu. Kau kan kuanggap sepenggal kisah lalu dan biarlah ceritamu
tentang kau dan aku terkubur di ruang laju sang waktu.
Maafkan aku!
Semoga kau dapat terus mengepakkan sayap-sayap indahmu, semoga
Tuhan senantiasa menjagamu, menjadikan hatimu lapang karena terang, dan
memudahkan segala urusanmu tanpa aral. Terakhir, semoga Tuhan memperkenankanku
untuk selalu hidup di hatimu, wahai perempuan penunggu senja! []
Gandroeng Kopi, 29 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar