Selasa, 29 Desember 2015

Sebuah Impian

Semilir angin berhembus pelan. Daun-daun di pucuk pohon jatuh dan tumbuh bergantian. Burung-burung Murai berkicau dengan suaranya yang lantang. Air sungai mengalir deras, suaranya lirih terdengar. Matahari perlahan menyingsing.

Detik demi detik berlalu, namun degup jantung dan rasa gemetar dalam diriku tidak juga mau berlalu. Aku melihatmu, kau tak melihatku. Aku memperhatikanmu, kau tak memperhatikanku. Aku diam seribu bahasa, kau tertawa riang bahagia. "Ah, sudahlah!"

Kuambil tas ransel. Kurogoh pena dan buku catatan. Tak ada. Kurogoh kembali. Tetap tak ada. Kucari dengan teliti. Tetap saja tak ada. Ya, barangkali ketinggalan di kediaman. Padahal aku hendak menulis, tapi pena dan buku catatanku ketinggalan. "Ah, sudahlah!"

Kuberpikir. "Menulis pakai apa?" Ada spidol dan dinding di sampingku. "Ide bagus!" Tak ada kertas, dinding pun jadi perantara aku menumpahkan segala yang kurasa. Aku mulai menulis. Huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusunlah sebuah paragrah. Selesai. Tertulis dengan gamblang; "Kau harus tahu satu hal, bahwa aku tetap cinta kepadamu. Namun, caraku mencintaimu adalah dengan jalan yang paling sunyi, diam. Karena itu cara terbaikku untuk tetap mencintaimu, karena apa yang kulakukan tak cukup untuk membuatmu percaya dan tak cukup membuatmu sadar. Semoga Tuhan senantiasa menjagamu, wahai wanita penunggu senja."

Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Kuambil, kulihat dan kuperhatikan dari siapa panggilan itu? Dari sosok yang sedari dulu hingga sekarang senantiasa mengayomiku, Ibu. Kuangkat telepon genggamku, dan suara renyah terdengar.

"Apa kabar anak tuaku?" Ibuku bertanya.

"Puji Tuhan, baik-baik saja, Bu!" Aku menjawab.

"Kapan kau pulang ke rumah? Ibu rindu."

"Bila waktu dan Tuhan mengizinkanku, Bu!"

"Tugas akhirmu, sudah selesai?"

"Sudah masuk Bab yang paling penting dari segala Bab Bu, yakni Bab niat." Aku tertawa kecut. “Mohon doa dan dukungan dari Ibu ya, semoga cepat kelar tanpa aral.” Pungkasku.

"Ya semoga dimudahkan ya Nak."

"Amin yaa Rabb. Oh ya, Bu, besok tanggal 30. Ada pameran JBS (Jual Buku Sastra) di sini (Yogyakarta). Ada beragam buku-buku unik dan langka yang disediakan dengan status limited akses. Ibu pasti tau, anak sulung Ibu ini semangatnya sedang menggebu-gebu." Aku meminta pengertian dari Ibu.

"Hehe... Nanti disumbang." Ibuku mengerti apa yang kumaksud, menjawab dengan sederhana, dan sepertinya Ibuku tertawa ringan penuh bahagia di kejauhan sana.

"Hehe... Terimakasih banyak Bu. Anak sulung Ibu ini janji, pasti akan jadi filsuf!" Aku mengucapkan terimakasih dan menyampaikan janji hasratku."

"Hehe... Semoga terwujud ya Nak."

Perbincangan selesai. Telepon ditutup. Aku mengamini ucapan Ibuku, yang juga merupakan janji hasratku. Ya begitulah, walau jauh, keluarga akan selalu menjadi harta yang begitu berharga. Mereka istimewa, dan termasuk dari salah satu karunia tak terhingga yang diberikan Tuhan.

Angin berhembus sepoi-sepoi. Matahari membias di langit pucat dan pias kelabu. Pesona pancaran sinar senja siap menyihir siapa saja yang melihatnya. Pancaran sinar merah yang terlihat begitu indah. Sesekali sinar itu tertutupi awan yang bergerak secara berbondong-bondong. Memabukkan. Akan tetapi sayang, panorama keindahan seperti itu hanya sebentar saja, hanya berlalu dan sisakan setumpuk rindu di dada.

Dialog bisu pun terjadi. Perdebatan sengit sedang bergemuruh di hatiku. Seperti itukah kisah cintaku dengan dirimu? Begitu indah, namun hanya sesaat? Ironinya, aku mabuk dibuatnya. Namun tak apa. Walau begitu, walau secara fisik aku tak berada di sampingmu, namun secara jiwa aku senantiasa memeluk dan menciummu. Akan tetapi, benarkah begitu? Apakah justeru tidak sebaliknya? Entahlah.

Ya, barangkali ada saat di mana kita lebih baik diam tanpa perlu mengutarakan isi hati yang terdalam. Terkadang itu pilihan pahit di antara pilihan baik, dan terkadang terjadi sebaliknya. Karena sifat dasar manusia suka berbagi (melalui bicara), dan pada akhirnya hanya sebuah simpul senyum  yang dapat mewakili ribuan bahasa dan rasa. Damai.

Aku tahu bahwa dua hari yang lalu, tepatnya 27 Desember 21 tahun yang lalu, adalah masa di mana kau pertama kali menghembuskan nafas dan menghirup udara di dunia. Kau adalah orang yang amat kucinta. Namun, aku tak dapat berbuat apa-apa. Lagi-lagi, ironinya, aku tak merasa memiliki tanggungjawab untuk berbuat apa-apa di hari bersejarahmu ini.

Salah siapa kau biarkan aku kecewa. Terluka saat mencarimu kau tak pernah ada, tersiksa tak ada kabar berita, seakan kau benar-benar tak peduli dengan apa yang kurasa. Ya, barangkali karena lelah yang sepertinya jenuh, atau mungkin karena terlalu lama kita terpisah jauh, hingga hatiku padamu perlahan runtuh, tak lagi padamu rasaku berlabuh.
Awalnya aku ragu akanmu, tetapi kau membuatku percaya dengan buaian kata-kata manismu, “Aku tak akan pergi meninggalkanmu”. Dan pada akhirnya, apa yang aku takutkan selama ini terjadi. Kau pun pergi. Dadaku sakit. Jiwaku berdesir. Otakku berputar, seolah ingin berhenti. Ia beku seakan aliran darah di dalamnya mampat seketika. "Oh Tuhan, jikalau Kau ciptakan hati dan tubuhku ini dari kaca, pasti aku sudah berpuing... hancur!"

Setelah kau pergi meninggalkanku, aku bagaikan sebuah perahu kecil yang tak dapat masuk ke dalam dermaga. Bukan karena ia tak layak memasukinya, melainkan karena ia dilarang untuk memasukinya. Sehingga membuat perahu kecil yang rapuh itu terombang-ambing di lautan, menunggu datangnya ombak yang akan menyapunya... tenggelam!

Waktu pun terus berputar dan berlalu tanpa mau menunggu. Jiwa yang lelah karena tiadanya tempat untuk berbagi, flu yang seringkali datang menghampiri dan batuk yang semakin menjadi-jadi adalah pertanda bahwa memang sudah saatnya berpindah hati. Dengan terlunta-lunta, lambat tapi pasti, aku perlahan bangkit. Aku perlahan mengingkari kehadiranmu. Hati kecilku berkata halus, "Maaf, aku harus beralih darimu. Bukan karena rasaku berubah ataupun berkurang. Melainkan aku kasihan terhadap tubuhku sendiri, tubuh yang sakit-sakitan karena terlalu sering memikirkanmu."

Kini aku merasa lebih kuat, dan bisa melakukan segalanya (setidaknya tak ada kata ragu bagiku yang sekarang ini untuk mencoba beragam hal ini dan itu). Kau pun harus tahu satu hal, bahwa kau masih dapat ambil bagian dari hidupku, atau kau masih dapat hadir di hidupku. Tetapi tidak akan pernah seperti dulu. Kau kan kuanggap sepenggal kisah lalu dan biarlah ceritamu tentang kau dan aku terkubur di ruang laju sang waktu.

Maafkan aku!

Semoga kau dapat terus mengepakkan sayap-sayap indahmu, semoga Tuhan senantiasa menjagamu, menjadikan hatimu lapang karena terang, dan memudahkan segala urusanmu tanpa aral. Terakhir, semoga Tuhan memperkenankanku untuk selalu hidup di hatimu, wahai perempuan penunggu senja! []


Gandroeng Kopi, 29 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar