Dalam ranah kajian kaidah fiqh, ada
suatu kaidah yang mengajarkan kita untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat
membahayakan diri sendiri dan orang lain ataupun khayalak. Kaidah fiqh tersebut
berbunyi:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya:
“Tidak berbahaya dan tidak membahayakan.”
Kaidah
ini diambil dari sabda Rasulullah Saw. dengan rawi Ibnu ‘Abbâs Radliyallahu ‘anhu
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mâjah, dan lainnya.[1] Kekuatan
dalil kaedah fiqhiyah yang terambil langsung dari nash Rasulullah Saw. jauh
diatas kekuatan sebuah kaedah fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda
beliau.[2]
Kaidah
diatas mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlarotan yang
berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun
saat membalas kejahatan orang lain. Kaidah ini merupakan kaedah umum mencakup pelbagai
macam aspek, mulai dari makanan, pergaulan, muamalah dan lain sebagainya.
Berdasarkan
kaidah ini, dapat kita ketahui bahwa dlarar (melakukan sesuatu yang
membahayakan) dilarang dalam ajaran agama Islam. Maka, tidak halal bagi seorang
muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan
saudaranya sesama muslim, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan
yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika dlarar itu dilakukan kepada
orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib kerabat, isteri,
tetangga, dan semisalnya.
Misal
saja, si Fulan memiliki sound system yang biasa ia gunakan untuk memutar
lagu-lagu kesukaannya. Suatu ketika, pada malam hari, Fulan memutar lagu-lagu
kesukaanya dengan suara yang cukup keras, hingga membangunkan tetangganya yang
berada disekitar laman rumahnya. Tindakan Fulan tentu bisa berakibat pada
hubungan yang buruk dengan tetangganya. Dan ini menimbulkan dua sekaligus
bentuk mudlarat, yaitu kepada diri sendir dan orang lain. Mudlarat
pada diri sendiri karena hilangnya hubungan saling menjaga–harmonis–antara Fulan dengan tetangganya, dan mudlarat kepada
orang lain karena Fulan telah menggangu waktu istirahat tetangganya.
Maka
seyogyanya, seseorang dilarang menggunakan barang miliknya jika hal itu
menimbulkan madlarat (gangguan atau bahaya) kepada tetangganya. Meskipun
ia mempunyai hak milik secara penuh terhadap barang tersebut, namun dalam
pemanfaatannya haruslah diperhatikan supaya tidak memadlaratkan, mengganggu,
ataupun merugikan tetangganya.
Contoh
lainnya dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan mengadakan gangguan di
jalan-jalan kaum Muslimin, di pasar-pasar mereka, ataupun di tempat-tempat kaum
Muslimin yang lain. Baik gangguan itu berupa kayu atau batu yang menggangu
perjalanan, atau lobang galian yang bisa membahayakan, atau bentuk gangguan
lainnya. Karena semuanya itu bisa menimbulkan madharat kepada kaum Muslimin.[3]
Dengan
demikian, setiap madlarat yang ditimbulkan kepada seorang Muslim termasuk
perkara yang diharamkan. Kemudian, jika seseorang dilarang menimbulkan madharat
kepada dirinya sendiri ataupun orang Muslim lainnya, maka sebaliknya ia
diperintahkan untuk memunculkan ihsân dalam setiap amalan yang ia kerjakan.[4]
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik.” – QS. al-Baqarah (2): 195
Rasulullah
Saw. pun bersabda :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ
اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ, فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ, وَإِذَا
ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ, وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ
ذَبِيْحَتَهُ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsân (kebaikan) dalam segala
hal. Maka jika kamu membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh. Dan jika kamu
menyembelih, maka berbuat baiklah dalam menyembelih, hendaklah ia tajamkan
pisaunya dan menenangkan sembelihannya.”[5]
Dalam
hadits tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk berbuat ihsân, sampai
dalam perkara menghilangkan nyawa. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi
seseorang untuk senantiasa memperhatikan konsep ihsân dalam setiap aktivitas
yang ia kerjakan. Maka sudah sepatutnya bila kita menanamkan jiwa yang suka
menanam kebaikan. Meski belum tentu kita panen, tanam saja. Kebaikan adalah
tentang memberi. Sapi, kambing dengan susu dan dagingnya. Ayam dengan telurnya,
lebah dengan madunya. Hutan dengan kayu dan udara bersihnya. Pepohonan dengan
buah dan sayurnya.
Wallâhu
a`lam. []
Wahid
Hasyim, 19 Januari 2015
[1]
HR.
Imam Ahmad 1/313. Ibnu Mâjah dalam Kitab al-Ahkâm, Bab Man banâ bihaqqihi mâ
yadhurru jârahu, No. 2341. At-Thabrâni dalam Al-Kabir, No. 11806 dari Jâbir
al-Jâ'fi dari Ikrîmah dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Hadits ini mempunyai
banyak syâhid sehingga semakin kuat. Di mana hadits ini diriwayatkan dari
Ubadah bin Shâmit, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Jâbir bin `Abdillâh,
`Aisyah, Tsa'labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, dan Abu Lubâbah Radliyallahu
‘anhum.
[2]
Lihat
al-Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi al
Ghozzi hal : 251
[3]
Lihat
Asy-Syarhul-Kabîr ma'al-Inshâf 13/195.
[4]
Baca al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah
an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali
bin Muhammad al-Musyaiqih, yang dikutip majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIII/1430H/2009.
[5]
HR.
Muslim dalam Kitab Ash-Shaid, Bab al-Amru bi Ihsâni Adz-Dzabhi, no. 1955, dari
Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar