Minggu, 20 Desember 2015

Tidak Berbahaya, Tidak Membahayakan

Dalam ranah kajian kaidah fiqh, ada suatu kaidah yang mengajarkan kita untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain ataupun khayalak. Kaidah fiqh tersebut berbunyi:
لا ضرر ولا ضرار

Artinya: “Tidak berbahaya dan tidak membahayakan.”

Kaidah ini diambil dari sabda Rasulullah Saw. dengan rawi Ibnu ‘Abbâs Radliyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mâjah, dan lainnya.[1] Kekuatan dalil kaedah fiqhiyah yang terambil langsung dari nash Rasulullah Saw. jauh diatas kekuatan sebuah kaedah fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda beliau.[2]

Kaidah diatas mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlarotan yang berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang lain. Kaidah ini merupakan kaedah umum mencakup pelbagai macam aspek, mulai dari makanan, pergaulan, muamalah dan lain sebagainya.

Berdasarkan kaidah ini, dapat kita ketahui bahwa dlarar (melakukan sesuatu yang membahayakan) dilarang dalam ajaran agama Islam. Maka, tidak halal bagi seorang muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan saudaranya sesama muslim, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika dlarar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib kerabat, isteri, tetangga, dan semisalnya.

Misal saja, si Fulan memiliki sound system yang biasa ia gunakan untuk memutar lagu-lagu kesukaannya. Suatu ketika, pada malam hari, Fulan memutar lagu-lagu kesukaanya dengan suara yang cukup keras, hingga membangunkan tetangganya yang berada disekitar laman rumahnya. Tindakan Fulan tentu bisa berakibat pada hubungan yang buruk dengan tetangganya. Dan ini menimbulkan dua sekaligus bentuk mudlarat, yaitu kepada diri sendir dan orang lain. Mudlarat pada diri sendiri karena hilangnya hubungan saling menjaga–harmonis–antara  Fulan dengan tetangganya, dan mudlarat kepada orang lain karena Fulan telah menggangu waktu istirahat tetangganya.

Maka seyogyanya, seseorang dilarang menggunakan barang miliknya jika hal itu menimbulkan madlarat (gangguan atau bahaya) kepada tetangganya. Meskipun ia mempunyai hak milik secara penuh terhadap barang tersebut, namun dalam pemanfaatannya haruslah diperhatikan supaya tidak memadlaratkan, mengganggu, ataupun merugikan tetangganya.

Contoh lainnya dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan mengadakan gangguan di jalan-jalan kaum Muslimin, di pasar-pasar mereka, ataupun di tempat-tempat kaum Muslimin yang lain. Baik gangguan itu berupa kayu atau batu yang menggangu perjalanan, atau lobang galian yang bisa membahayakan, atau bentuk gangguan lainnya. Karena semuanya itu bisa menimbulkan madharat kepada kaum Muslimin.[3]

Dengan demikian, setiap madlarat yang ditimbulkan kepada seorang Muslim termasuk perkara yang diharamkan. Kemudian, jika seseorang dilarang menimbulkan madharat kepada dirinya sendiri ataupun orang Muslim lainnya, maka sebaliknya ia diperintahkan untuk memunculkan ihsân dalam setiap amalan yang ia kerjakan.[4] Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” – QS. al-Baqarah (2): 195

Rasulullah Saw. pun bersabda :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ, فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ, وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ, وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsân (kebaikan) dalam segala hal. Maka jika kamu membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh. Dan jika kamu menyembelih, maka berbuat baiklah dalam menyembelih, hendaklah ia tajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.”[5]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk berbuat ihsân, sampai dalam perkara menghilangkan nyawa. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi seseorang untuk senantiasa memperhatikan konsep ihsân dalam setiap aktivitas yang ia kerjakan. Maka sudah sepatutnya bila kita menanamkan jiwa yang suka menanam kebaikan. Meski belum tentu kita panen, tanam saja. Kebaikan adalah tentang memberi. Sapi, kambing dengan susu dan dagingnya. Ayam dengan telurnya, lebah dengan madunya. Hutan dengan kayu dan udara bersihnya. Pepohonan dengan buah dan sayurnya.

Wallâhu a`lam. []

Wahid Hasyim, 19 Januari 2015



[1] HR. Imam Ahmad 1/313. Ibnu Mâjah dalam Kitab al-Ahkâm, Bab Man banâ bihaqqihi mâ yadhurru jârahu, No. 2341. At-Thabrâni dalam Al-Kabir, No. 11806 dari Jâbir al-Jâ'fi dari Ikrîmah dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Hadits ini mempunyai banyak syâhid sehingga semakin kuat. Di mana hadits ini diriwayatkan dari Ubadah bin Shâmit, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Jâbir bin `Abdillâh, `Aisyah, Tsa'labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, dan Abu Lubâbah Radliyallahu ‘anhum.
[2] Lihat al-Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi al Ghozzi hal : 251
[3] Lihat Asy-Syarhul-Kabîr ma'al-Inshâf 13/195.
[4] Baca al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, yang dikutip majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIII/1430H/2009.
[5] HR. Muslim dalam Kitab Ash-Shaid, Bab al-Amru bi Ihsâni Adz-Dzabhi, no. 1955, dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar