Selasa, 29 Desember 2015

Sekilas Tentang Islam (Rekam Sejarah Abduh)

Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan Khiyarullah adalah seorang mujaddid dari Thantha. Ia akrab dengan nama Muhammad yang digandengkan dengan nama bapaknya, Abduh. Beberapa orang melihatnya sebagai usaha manifestasi kegandrungannya akan penghormatan Islam kepada Rasulullah Saw. Karena ––sebagaimana diketahui–– di saat menyebut nama Nabi Muhammad Saw., seringkali diikuti dengan “`abduhu wa rasuluh”.[1]

Tinta sejarah telah mencatat, bahwa Syaikh Muhammad Abduh pernah berdakwah cukup lama di Paris. Di sana (Paris), beliau menjelaskan segala keluhuran dan kemuliaan ajaran agama Islam. Di tangannya, tak sedikit orang-orang Perancis yang masuk Islam. Mereka masuk Islam karena merasa takjub dengan keindahan dan keluhuran ajaran agama Islam.

Suatu hari, Syaikh Muhammad Abduh harus meninggalkan Paris dan kembali ke dunia Arab, lalu kembali ke Mesir. Syaikh Muhammad Abduh kembali mengajar di Al-Azhar University, Kairo. Sekian lama ditinggal Syaikh Muhammad Abduh, murid-murid dan jama`ah Syaikh Muhammad Abduh di Paris merasakan kerinduan untuk berjumpa dengan gurunya. Di antara mereka, ada beberapa orang yang nekat melakukan perjalanan panjang demi menemui gurunya tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Syaikh Muhammad Abduh itu sendiri. Mereka melakukan perjalanan darat, lalu perjalanan laut menyeberangi lautan Mediterania.

Di samping itu, selain ingin berjumpa dengan Syaikh Muhammad Abduh, mereka berharap akan menemukan saudara seiman dengan kualitas hidup yang indah dan dalam peradaban yang indah pula. Mereka membayangkan bahwa Mesir, tempat sang guru lahir dan besar, tempat Al-Azhar University berdiri dan ribuan ulama dari waktu ke waktu menebar ilmu dan berdakwah, pastilah sebuah negeri dengan cara hidup sangat Islami yang indah. Keberhasilannya pasti sangat terjaga melebihi Paris. Sebab orang-orang Mesir pastilah sangat hafal hadits yang berbunyi “ath-Thahuru syathrul iman” (kebersihan itu sebagian dari iman). Pastilah tak ada orang yang miskin, sebab semua menunaikan zakat. Dan tentunya masih banyak gambaran-gambaran lainnya yang terbayang indah. Keindahan itu muncul begitu saja karena penjelasan-penjelasan Syaikh Muhammad Abduh tentang kesempurnaan ajaran agama Islam.

Tatkala kapal yang mereka tumpangi merapat ke pelabuhan Port Said, dan penumpang satu per satu turun, mereka juga turun. Murid-murid Syaikh Muhammad Abduh dari Paris itu kaget menyaksikan pelabuhan Port Said yang semerawut. Terlihat jelas orang-orang Mesir yang tidak bisa tertib, kata-kata yang keras dan kasar, kebersihan yang tidak dijaga, dan pengemis yang ada di mana-mana.

Mereka mencoba menghibur diri. Sebuah kota pelabuhan bisa dimaklumi. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Kairo. Sampai di Kairo, mereka benar-benar kaget dan kecewa. Gambaran keindahan peradaban Islam seperti yang disampaikan Syaikh Muhammad Abduh tidak mereka jumpai. Mereka kecewa, tak jauh dari Al-Azhar University, mereka menyaksikan seorang laki-laki berjubah buang air kecil dengan menghadap tembok. “Mana adab-adab Islami yang indah itu? Bukankah buang air kecil ada adab-adabnya? Bukankah ia hidup di dekat Al-Azhar University?”

Mereka juga menyaksikan pengemis yang kumal di area Maydan Husein. “Apakah mereka tidak malu kepada Rasulullah Saw.? Bukankah Rasulullah Saw. tidak menyukai umatnya jadi peminta-minta? Namun, kenapa mereka meminta-minta?apakah mereka tidak malu meminta-minta di Al-Azhar University? Apakah para ulama Al-Azhar tidak ada yang mengingatkan? Apakah orang-orang kaya di sini tidak membayar zakat?”

Ribuan pertanyaan berjubel di kepala mereka. Mereka terpukul dan kecewa. Mereka sedih, kenapa mereka mendapatkan kenyataan pahit dan mengenaskan itu? Lezatnya iman yang mereka rasakan saat ini, sekarang dibenturkan dengan kenyataan riil umat Islam yang jauh dari imajinasi keluhuran ajaran Islam yang mereka imani.

Mereka akhirnya menemukan kantor di mana Syaikh Muhammad Abduh mengajar. Mereka pun berjumpa dengan guru yang sangat mereka rindukan. Begitu mereka bertemu Syaikh Muhammad Abduh, mereka protes dengan apa yang mereka lihat sejak turun dari kapal yang menyeberangi lautan Mediterania dan menginjakkan kaki di tanah Mesir hingga mereka sampai di jantung Al-Azhar University. Mereka mengungkapkan kekecewaan mereka kepada Syaikh Muhammad Abduh.

“Kami berharap mendapatkan contoh Islam yang hidup di Mesir ini Syaikh. Tapi sungguh jauh dari yang kami harapkan. Kami hampir-hampir tidak menemukan Islam yang dipraktikkan di sini. Mana Islam yang indah, Islam yang luhur seperti yang Syaikh ajarkan kepada kami saat di Paris dulu? Kenapa dalam sepelemparan baru dari Masjid Al-Azhar, ada seorang laki-laki berjubah yang buang air kecil menghadap tembok sambil berdiri? Kenapa Paris yang tidak mengenal ajaran Islam lebih bersih dan teratur daripada Kairo? Sesungguhnya apa yang terjadi, Syaikh?”

Bibir Syaikh Muhammad Abduh kelu. Ulama besar itu tidak bisa menjawab pertanyaan bernada protes dari murid-murid terkasihnya itu. Kedua mata Syaikh Muhammad Abduh berkaca-kaca. Ada kesedihan yang luar biasa hebat menyusup ke dalam hatinya. Dengan menahan isak, Syaikh Muhammad Abduh kemudian mengucapkan sebuah kalimat yang kemudian begitu terkenal di seantro dunia Islam, dan kalimat itumasih relevan hingga sekarang. Kalimat itu berbunyi, “al-Islamu mahjubun bil muslimin” (Islam tertutup oleh umat Islam).

Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam itu sendiri. Adapaun perilaku-perilaku buruk itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. Tidak juga bagian dari ajaran Islam. Akan tetapi, karena dari mulut mereka setiap saat mengaku bahwa mereka adalah umat Islam, maka wajar jika banyak orang yang menganggap bahwa seperti itulah ajaran Islam. Padahal itu bukan dari ajaran Islam.

Akibatnya, jika yang dilihat adalah perilaku sebagian umat Islam yang tak terpuji itu, dan itu yang dijadikan timbangan, maka orang bisa antiati kepada Islam. Tak ayal, cahaya keindahan Islam tertutupi. Ironinya, yang menutupi cahaya itu justeru perilaku pemeluknya yang tidak Islami.

Maka, apabila kita mengaku sebagai pemeluk Islam yang belum mampu untuk mengepakkan sayap-sayap keindahan Islam, sudah sepatutnya bila kita senantiasa berjuang dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Setidaknya, kita tidak termasuk  ke dalam golongan umat Islam yang menjadi penghalang terpancarnya cahaya Islam. Dengan bahasa yang lebih lugas, jikalau kita tak bisa menjadi orang yang memancarkan keindahan cahaya Islam, setidaknya kita tak menghalangi terpancarnya cahaya Islam.

Semoga manusia yang hidup di hamparan muka bumi ini senantiasa bersyukur atas segala bentuk kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya, dan semoga senantiasa diberkati-Nya (Amin yaa Rabb). Shallu `ala sayyidina Muhammad.

Wallahu a`lam. []

Wahid Hasyim, 30 Desember 2015




[1] `Abbas Mahmud al-`Aqad, Muhammad Abduh, (al-Haiat al-Mishriyyah al-`Ammah li Ta`lif wa an-Nasyr, 1970). Hlm. 68.

Sebuah Impian

Semilir angin berhembus pelan. Daun-daun di pucuk pohon jatuh dan tumbuh bergantian. Burung-burung Murai berkicau dengan suaranya yang lantang. Air sungai mengalir deras, suaranya lirih terdengar. Matahari perlahan menyingsing.

Detik demi detik berlalu, namun degup jantung dan rasa gemetar dalam diriku tidak juga mau berlalu. Aku melihatmu, kau tak melihatku. Aku memperhatikanmu, kau tak memperhatikanku. Aku diam seribu bahasa, kau tertawa riang bahagia. "Ah, sudahlah!"

Kuambil tas ransel. Kurogoh pena dan buku catatan. Tak ada. Kurogoh kembali. Tetap tak ada. Kucari dengan teliti. Tetap saja tak ada. Ya, barangkali ketinggalan di kediaman. Padahal aku hendak menulis, tapi pena dan buku catatanku ketinggalan. "Ah, sudahlah!"

Kuberpikir. "Menulis pakai apa?" Ada spidol dan dinding di sampingku. "Ide bagus!" Tak ada kertas, dinding pun jadi perantara aku menumpahkan segala yang kurasa. Aku mulai menulis. Huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusunlah sebuah paragrah. Selesai. Tertulis dengan gamblang; "Kau harus tahu satu hal, bahwa aku tetap cinta kepadamu. Namun, caraku mencintaimu adalah dengan jalan yang paling sunyi, diam. Karena itu cara terbaikku untuk tetap mencintaimu, karena apa yang kulakukan tak cukup untuk membuatmu percaya dan tak cukup membuatmu sadar. Semoga Tuhan senantiasa menjagamu, wahai wanita penunggu senja."

Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Kuambil, kulihat dan kuperhatikan dari siapa panggilan itu? Dari sosok yang sedari dulu hingga sekarang senantiasa mengayomiku, Ibu. Kuangkat telepon genggamku, dan suara renyah terdengar.

"Apa kabar anak tuaku?" Ibuku bertanya.

"Puji Tuhan, baik-baik saja, Bu!" Aku menjawab.

"Kapan kau pulang ke rumah? Ibu rindu."

"Bila waktu dan Tuhan mengizinkanku, Bu!"

"Tugas akhirmu, sudah selesai?"

"Sudah masuk Bab yang paling penting dari segala Bab Bu, yakni Bab niat." Aku tertawa kecut. “Mohon doa dan dukungan dari Ibu ya, semoga cepat kelar tanpa aral.” Pungkasku.

"Ya semoga dimudahkan ya Nak."

"Amin yaa Rabb. Oh ya, Bu, besok tanggal 30. Ada pameran JBS (Jual Buku Sastra) di sini (Yogyakarta). Ada beragam buku-buku unik dan langka yang disediakan dengan status limited akses. Ibu pasti tau, anak sulung Ibu ini semangatnya sedang menggebu-gebu." Aku meminta pengertian dari Ibu.

"Hehe... Nanti disumbang." Ibuku mengerti apa yang kumaksud, menjawab dengan sederhana, dan sepertinya Ibuku tertawa ringan penuh bahagia di kejauhan sana.

"Hehe... Terimakasih banyak Bu. Anak sulung Ibu ini janji, pasti akan jadi filsuf!" Aku mengucapkan terimakasih dan menyampaikan janji hasratku."

"Hehe... Semoga terwujud ya Nak."

Perbincangan selesai. Telepon ditutup. Aku mengamini ucapan Ibuku, yang juga merupakan janji hasratku. Ya begitulah, walau jauh, keluarga akan selalu menjadi harta yang begitu berharga. Mereka istimewa, dan termasuk dari salah satu karunia tak terhingga yang diberikan Tuhan.

Angin berhembus sepoi-sepoi. Matahari membias di langit pucat dan pias kelabu. Pesona pancaran sinar senja siap menyihir siapa saja yang melihatnya. Pancaran sinar merah yang terlihat begitu indah. Sesekali sinar itu tertutupi awan yang bergerak secara berbondong-bondong. Memabukkan. Akan tetapi sayang, panorama keindahan seperti itu hanya sebentar saja, hanya berlalu dan sisakan setumpuk rindu di dada.

Dialog bisu pun terjadi. Perdebatan sengit sedang bergemuruh di hatiku. Seperti itukah kisah cintaku dengan dirimu? Begitu indah, namun hanya sesaat? Ironinya, aku mabuk dibuatnya. Namun tak apa. Walau begitu, walau secara fisik aku tak berada di sampingmu, namun secara jiwa aku senantiasa memeluk dan menciummu. Akan tetapi, benarkah begitu? Apakah justeru tidak sebaliknya? Entahlah.

Ya, barangkali ada saat di mana kita lebih baik diam tanpa perlu mengutarakan isi hati yang terdalam. Terkadang itu pilihan pahit di antara pilihan baik, dan terkadang terjadi sebaliknya. Karena sifat dasar manusia suka berbagi (melalui bicara), dan pada akhirnya hanya sebuah simpul senyum  yang dapat mewakili ribuan bahasa dan rasa. Damai.

Aku tahu bahwa dua hari yang lalu, tepatnya 27 Desember 21 tahun yang lalu, adalah masa di mana kau pertama kali menghembuskan nafas dan menghirup udara di dunia. Kau adalah orang yang amat kucinta. Namun, aku tak dapat berbuat apa-apa. Lagi-lagi, ironinya, aku tak merasa memiliki tanggungjawab untuk berbuat apa-apa di hari bersejarahmu ini.

Salah siapa kau biarkan aku kecewa. Terluka saat mencarimu kau tak pernah ada, tersiksa tak ada kabar berita, seakan kau benar-benar tak peduli dengan apa yang kurasa. Ya, barangkali karena lelah yang sepertinya jenuh, atau mungkin karena terlalu lama kita terpisah jauh, hingga hatiku padamu perlahan runtuh, tak lagi padamu rasaku berlabuh.
Awalnya aku ragu akanmu, tetapi kau membuatku percaya dengan buaian kata-kata manismu, “Aku tak akan pergi meninggalkanmu”. Dan pada akhirnya, apa yang aku takutkan selama ini terjadi. Kau pun pergi. Dadaku sakit. Jiwaku berdesir. Otakku berputar, seolah ingin berhenti. Ia beku seakan aliran darah di dalamnya mampat seketika. "Oh Tuhan, jikalau Kau ciptakan hati dan tubuhku ini dari kaca, pasti aku sudah berpuing... hancur!"

Setelah kau pergi meninggalkanku, aku bagaikan sebuah perahu kecil yang tak dapat masuk ke dalam dermaga. Bukan karena ia tak layak memasukinya, melainkan karena ia dilarang untuk memasukinya. Sehingga membuat perahu kecil yang rapuh itu terombang-ambing di lautan, menunggu datangnya ombak yang akan menyapunya... tenggelam!

Waktu pun terus berputar dan berlalu tanpa mau menunggu. Jiwa yang lelah karena tiadanya tempat untuk berbagi, flu yang seringkali datang menghampiri dan batuk yang semakin menjadi-jadi adalah pertanda bahwa memang sudah saatnya berpindah hati. Dengan terlunta-lunta, lambat tapi pasti, aku perlahan bangkit. Aku perlahan mengingkari kehadiranmu. Hati kecilku berkata halus, "Maaf, aku harus beralih darimu. Bukan karena rasaku berubah ataupun berkurang. Melainkan aku kasihan terhadap tubuhku sendiri, tubuh yang sakit-sakitan karena terlalu sering memikirkanmu."

Kini aku merasa lebih kuat, dan bisa melakukan segalanya (setidaknya tak ada kata ragu bagiku yang sekarang ini untuk mencoba beragam hal ini dan itu). Kau pun harus tahu satu hal, bahwa kau masih dapat ambil bagian dari hidupku, atau kau masih dapat hadir di hidupku. Tetapi tidak akan pernah seperti dulu. Kau kan kuanggap sepenggal kisah lalu dan biarlah ceritamu tentang kau dan aku terkubur di ruang laju sang waktu.

Maafkan aku!

Semoga kau dapat terus mengepakkan sayap-sayap indahmu, semoga Tuhan senantiasa menjagamu, menjadikan hatimu lapang karena terang, dan memudahkan segala urusanmu tanpa aral. Terakhir, semoga Tuhan memperkenankanku untuk selalu hidup di hatimu, wahai perempuan penunggu senja! []


Gandroeng Kopi, 29 Desember 2015

Musik Negeri Ini

Tepat satu tahun yang lalu, aku pergi melanglang buana. Mulai dari Temanggung, Surabaya, Kendal, Demak, Kudus, dan kembali ke ranah utama rantauanku, Yogyakarta. Selama perjalanan itu, kutemui banyak fenomena dan semakin menyadarkanku bahwa dunia ini begitu luas. Begitu banyak hal yang belum kita tahu, begitu banyak hal yang belum kita mengerti, dan begitu banyak hal-hal yang janggal dalam kehidupan ini.

Aku tak sendiri. Aku bersama beberapa kawanku. Tujuan utama kami melanglang buana adalah untuk berziarah ke makam sahabat karibku dan tentu saja para `ulama. Tak perlu repot-repot bertanya, “Dalilnya apa?” Namun kalau pun ada yang bertanya seperti itu, dengan senang hati aku akan menjawabnya. Logikanya begini, jika untuk menghormati dirimu, atau untuk merayakan hari kelahiranmu kau tak butuh dalil, masa sih untuk mengenang sahabat karibmu dan jasa-jasa para `ulama yang merupakan pewaris Nabi, atau untuk menghormati dan merayakan hari kelahiran Pemimpin agungmu yakni Kanjeng Nabi itu sendiri, kau dengan gaya orang yang `alim menanyakan hadis sahihnya? Pantaskah seperti itu? Cukup simpan dalam hati jawabanmu itu.

Setiba aku dan kawanku-kawanku di tempat tujuan, dikarenakan lelah, kami butuh tempat beristirahat. Namun dikarenakan kami sampai di waktu subuh buta, yang sepengamatanku dan kawan-kawanku terhadap keadaan dan tempat-tempat di sekitar terminal tak ada penginapan, dan dikarenakan tak ada transport seperti ojek ataupun taksi, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke masjid dekat terminal. Buka. Aku dan kawan-kawanku bersyukur, dan mengucapkan “Alhamdulillah” secara bersamaan. Ya, seperti itulah, Rumah Tuhan akan selalu terbuka bagi para hambanya yang mencari tempat teduh, rehat, dan ketenangan.

Di sepanjang jalan pengembaraan itu, ketika kami berada di dalam bus, terdengar suara gitar dan gendangan dari pengamen-pengamen yang mengamen di dalam bus. Pengamen-pengamen itu menyanyikan empat lagu dari empat band yang berbeda.

“Kau dengar itu, kawan?” Temanku bertanya.

“Iya, aku dengar kok.” Aku menjawab.

“Menurutku, para pengamen yang menyanyikan keempat lagu dari empat band yang berbeda itu lebih baik dibanding penyanyi aslinya. Suaranya khas!” Ungkap temanku dengan antusias.

Aku mengiyakan. Mau tak mau kita memang harus mengakui satu hal bahwa para pengamen jalanan pun punya semangat, bakat dan suara yang tak kalah dibanding artis-artis ternama yang dadak nyanyi dan rekamannya laku keras. Tapi sayang, di negeri ini menganggap musik tentang melihat, bukan mendengar.

Barangkali fenomena tersebut pula yang menjadikanku dan kawan-kawanku terpukau dengan para pengamen jalanan, dan tak begitu menyukai musik-musik di negeri ini saat ini. Para musisi saat ini hanya terkenal sebentar, setelah itu tak ada lagi kabarnya alias pergi entah ke mana. Berbeda dengan musisi-musisi beberapa windu lalu, mereka merintis dari awal, dari pengamen jalanan, ke sana ke mari mengamen demi bertahan  hidup. Lirik lagunya puitis, epic! Menyentuh hati, menggetarkan jiwa.

Aku sendiri lebih menyukai para musisi outsiders yang beraliran dream teater dan softrock. Aku menyukainya karena bagiku ada hal-hal menarik yang termuat di dalamnya, yakni tidak cengeng dan alunan musiknya yang menghibur dengan pelbagai selebrasi. Seperti Metallica dengan Nothing Else Matters-nya, dan Guns N` Roses dengan Don`t Cry-nya.

Nothing Else Matters seolah ingin mengatakan bahwa apapun yang terjadi, jikalau itu memang berasal dari sanubari, maka perjuangkanlah dan jangan pernah berhenti. Tak usah kau tangisi hari kemarin, tak usah kau pedulikan omongan orang lain. Sedang Don`t Cry seolah ingin mengatakan bahwa tatkala seseorang bermimpi buruk, atau dalam alur kehidupannya sedang berada dalam kondisi yang terpuruk, maka tak usah gundah, tak perlu resah, apalagi berkeluh-kesah. Karena di luar sana masih ada sosok yang peduli terhadap kita, bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan kita bercerita, dan dengan suka-cita mencoba untuk meringankan beban kita. Jika memang seperti itu yang diinginkan Metallica dan Guns N` Roses, maka tak heran bila kedua band tersebut disebut sebagai legendary band atau best band of all time. Lirik lagunya tak usang ditelan waktu.

Aku juga menyukai aliran musik blues, Jimi Hendrix. Menikmati kesedihan, adalah cara para kaum marjinal utk merayakan hidup. Analoginya seperti ini, jika lebah yang menyengat dapat pula menghasilkan madu, dan pil pahit juga sejatinya untuk obat, maka tak ada salahnya menafsiri keterpurukan, kesedihan, dalam bingkai keindahan.

Nah, bagaimana dengan musik di negeri ini saat ini? Sebut saja seperti Iwan Falls, Ebiet G. Ade, Rhoma Irama, ataupun musisi dan penyanyi solo tahun 60-an seperti Ratih Purwasih, lirik lagu-lagunya sarat makna, dan kau perlu tahu bahwa mereka terkenal bukan dengan cara yang mudah, mereka berjuang dari akar rumput, berangkat dari titik nol. Namun, bila kau tak mengenal mereka, tak mengetahui apalagi merenungi lirik lagu-lagu mereka, bisa dipastikan bahwa kau adalah generasi boy band.

Klasik memang selalu asyik. Tapi entahlah. []

Wahid Hasyim, 21 Desember 2015

Minggu, 20 Desember 2015

Kata Hati

Aku seperti berada di peti mati. Semua yang kulihat gelap, pikiranku tak jelas, benakku seolah dicabik binatang buas, dan tenaga fisik yang ikut terkuras, lelah! Hari-hariku berlalu dengan membosankan, hidupku seolah hilang karena usang. Tak ada rintangan, tak ada tantangan, pun tak ada kedisiplinan. Tak tersisa tanpa kesan, tanpa harapan dan sebuah pesan. Hampa.

Demi hidup yang adalah karunia tak terhingga, terlalu berharga bila dilalui tanpa sarat makna. Kuputuskan untuk ber-manuver, untuk bekerja di salah satu kafe yang berada dekat dengan kediamanku saat ini. Walau tujuanku merantau adalah untuk mencari ilmu, namun setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya mencari pengalaman lebih. Toh dari pengalaman ada ilmunya juga.

Di sana, aku banyak mendapat banyak pelatihan tentang masak-memasak. Mulai dari Tela Krezz, Fried Potato, Fried Onion Rings, Crispy Mushroom, Edamame, Pisang Bakar, Roti Bakar, Mie Susu, Bubur Hongkong, dan macam-macam kopi seperti Cappucino, Moccacino, Coffee Late, Coffee Milk Caramel, Coffee Milk, Vanila Chocho Hot Coffee, Frappuccino, dan tentu saja Kopi Tubruk atau Kotok.

Jikalau ada orang lain yang tiba-tiba mengejutkan dengan sederet pertanyaan seperti, “Katanya santri, tapi kok usaha? Bukankah santri itu kerjaannya cuma bisa ngaji? Bukankah tak layak bagi seorang santri mengejar kekayaan duniawi?” Ya, biar saja. Aku tak terlalu menghiraukan apa kata orang lain, dan aku punya argumen yang menurutku cukup kuat sebagai alasanku untuk tidak menghiraukan orang lain. Cobalah untuk lebih manusiawi, bahwa jika kau memiliki banyak keterampilan, niscaya di mana pun kau hidup akan terasa mudah. Juga untuk perihal kaya, cobalah untuk lebih manusiawi, bahwa kaya tak menjamin manusia bahagia, miskin juga belum tentu membuatnya terhina. Semua tergantung bagaimana cara menyikapinya. Namun satu hal yang mungkin bisa menjadi pertimbangan, bahwa jika kau kaya, setidaknya kau bisa berbuat lebih banyak bagi sesama.

Aku teringat petuah dari seorang bijak, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo. Beliau mengatakan bahwa sejatinya kita sebagai manusia itu hendak mengikuti kata hati atau kata orang lain? Jikalau kita mengikuti apa kata hati, maka jangan pedulikan apa kata orang lain. Sebab ke mana pun kita pergi, ke mana pun kita bergerak akan selalu dikomentari orang lain.

Ya, memang seperti itulah adanya. Sebagaimana kisah Luqman al-Hakim dan anaknya. Kisah yang cukup terkenal karena mampu menggetarkan hati-hati yang sekeras batu. Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku kerjakanlah amal yang menjadikanmu shalih di dalam urusan agama dan duniamu, dan teruslah bekerja demi ke-maslahatan (kebaikan)-mu itu sampai engkau menuntaskannya. Jangan engkau hiraukan orang lain, jangan engkau dengar tanggapan-tanggapan mereka, dan maafkanlah mereka, karena memang tidak ada jalan yang dapat memuaskan mereka semua, dan pula tidak ada cara untuk menyatukan hati mereka.”

“Duhai anakku, coba ambillah seekor keledai dan lihatlah apa tanggapan orang-orang, niscaya mereka tidak senang dengan seorang pun selama-lamanya.” Putranya kemudian datang kepadanya sembari membawa  seekor keledai. Luqman menaiki keledai itu, dan memerintahkan putranya untuk menuntun. Tak lama kemudian, mereka melewati sekelompok orang. Tiba-tiba, orang-orang di situ mengecam Luqman seraya berkata, “Anak muda itu berjalan kaki, sementara yang tua malah naik di atas keledai. Sungguh, alangkah kejam dan kasarnya ia?!”

Luqman berkata kepada putranya, “Apa tanggapan orang-orang, duhai anakku?” putranya lalu mengabarkan tanggapan mereka kepada Luqman. Setelah itu, Luqman turun dari keledai, berganti sang putra yang menaiki dan Luqman yang menuntun hingga mereka melewati kerumunan orang-orang di tempat yang lain. Tidak beda dengan yang pertama, tiba-tiba mereka mencemooh putranya sembari mengatakan, “Anak muda itu naik diatas keledai sedang yang tua yang berjalan kaki. Oh, alangkah kejamnya anak muda itu, dan betapa kurang ajar ia?!”

Luqman lantas bertanya kepada putranya, “Duhai putraku, bagaimana tanggapan orang-orang?” Putranya lalu memberitahukan kepadanya tentang tanggapan orang-orang tersebut. Keduanya memutuskan untuk menaiki keledai itu bersama-sama sampai mereka lewat di tempat yang lainnya lagi. Orang-orang di tempat itu tiba-tiba mencerca keduanya seraya berkata, “Kedua orang itu sungguh sangat tega, berboncengan di atas seekor keledai, padahal mereka tidak sakit dan tidak juga lemah. Sungguh, alangkah kejamnya mereka berdua.?!”

Luqman bertanya kepada putranya lagi, “Bagaimana tanggapan mereka?” putranya lalu mengabarkan tentang tanggapan orang-orang itu kepadanya. Akhirnya, Luqman dan putranya turun dari keledai, lalu mereka berdua berjalan kaki bersama sembari menuntun keledai. Mereka melewati kerumunan orang-orang di tempat lainnya. Sama seperti sebelumnya, tiba-tiba mereka mengecam Luqman dan putranya seraya berkomentar, “Subhanallah, seekor keledai berjalan tanpa ditunggangi, padahal keledai kelihatan sehat dan kuat,sementara kedua orang yang meuntunnya itu malah berjalan kaki. Oh, alangkah baiknya jika salah seorang naik di atasnya?!”

Luqman bertanya kepada putranya, “Bagaimana tanggapan orang-orang itu?” sama seperti sebelumnya, putranya memberitahukan tanggapan mereka kepadanya. Kemudian Luqman mengulangi nasehatnya kepada putranya, Duhai anakku, bukankah telah aku katakan, kerjakan apa saja yang akan menjadikanmu shalih, dan janganlah menghiraukan tanggapan manusia. Sesungguhnya ini semua hanya karena aku inginmemberi pelajaran kepadamu.”

Kembali kepada petuah KH Abdullah Syukri Zarkasyi, bahwa jika kita terus-menerus mengikuti apa yang dikatakan orang lain, maka tidak bakal ada habisnya, hanya membuang-buang tenaga saja. “Kalian ini mau nuruti kata hati atau nuruti kata orang? Kalau nuruti kata hati, jangan pedulikan kata orang. Sebab orang itu kita bergerak kemanapun pasti dikomentari. Saya dulu buka UKK (Koperasi Guru) dan KUK (Toko Besi Pesantren) dan Toko Buku saja habis-habisan dikomentari, dibilang Kyai Bisnis, Kyai Mata Duitan, Kyai Matre, tapi saya jalan terus. Sekarang semua baru terbuka, pada ramai-ramai ikut-ikutan buka usaha. Saya tahu bahwa Pesantren ini butuh biaya, utamanya untuk kesejahteraan Guru. Tapi bagaimana biar ini tidak membebani santri, kesejahteraan Guru tidak boleh dimabilkan dari dana santri. Kenapa? Biar para santri tidak berkata, “Kamu kan sudah saya bayar!” Ini yang ingin saya hindari, maka saya buat unit-unit usaha yang saat ini mencapai 23 buah. Semua itu demi kesejahteraan guru. Maka jangan dengarkan kata orang jika ingin maju. Bagus atau jelek, jalani saja. Kalau jelek ya dievaluasi ditengah jalan. Sebab dengerin kata orang itu ndak ada habisnya. Bahkan kita tidak bergerak sekalipun, itu tetap akan dikomentari, ini orang masih hidup atau sudah mati, kok Cuma diam saja gerakannya. Maka dari itu, ikuti kata hatimu sebagaimana sabda Rasulullah, “Istafti Qalbak!” Jelas Pimpinan Pondok Pesantren Modern terbesar di Indonesia tersebut.

Namun, di satu sisi, bagaimanapun juga aku berusaha memahami suatu hal yang aku tahu menuju pemahaman yang paripurna, Tuhan lebih mengetahui apa yang kuketahui dan apa yang tidak kuketahui. Just do it, but think before do, and follow your heart. Because it will bring you to get the intuition, and intuition will bring you to get a great direction. Shalluu `ala Sayyidina Muhammad. []


Wahid Hasyim, 21 Desember 2015

Kebenaran Mutlak

Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Muttalibi al-Qurashi atau yang biasa dikenal dengan Imam asy-Syafi`i pernah berkata, "Pandanganku adalah kebenaran yang mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain selain aku adalah kesalahan yang mengandung kemungkinan benar."

رأيي صواب يحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

Dengan bahasa lain, "Apa yang kuyakini benar bisa jadi justeru sebaliknya, salah. Begitu juga dengan orang lain, apa yang mereka yakini salah bisa jadi justeru sebaliknya, benar."

Ini adalah satu kebijaksanaan sederhana namun amat penting dalam ranah fiqh (paham). Benar bagiku belum tentu benar bagi orang lain. Salah bagiku belum tentu salah bagi orang lain. Pun sebaliknya, benar bagi orang lain belum tentu benar bagiku. Salah bagi orang lain belum tentu salah bagiku.

Melalui perkataannya, Imam asy-Syafi`i mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran manusia tidak sebenar-benarnya "benar". Hanya kebenaran-Nya yang satu-satunya mutlak benar. Nah, maka dalam hal keyakinan, tak usah menggunakan logika. Karena logika tak kan menemukan kebenaran. Buktinya, teori-teori lama berguguran dengan adanya teori-teori baru. Itu menandakan bahwa teori (logika) hanya bisa mendekati kebenaran, bukan kebenaran sejati.

(Tambahan dariku, barangkali hanya sebatas hipotesis, bahwa orang yang jarang kumpul alias jarang membaur, dalam ranah paham, mereka selalu membenarkan pemahamannya tanpa berkenan melihat, berkaca dan belajar kepada paham lainnya.)

Wallahu a`lam.

Tidak Berbahaya, Tidak Membahayakan

Dalam ranah kajian kaidah fiqh, ada suatu kaidah yang mengajarkan kita untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain ataupun khayalak. Kaidah fiqh tersebut berbunyi:
لا ضرر ولا ضرار

Artinya: “Tidak berbahaya dan tidak membahayakan.”

Kaidah ini diambil dari sabda Rasulullah Saw. dengan rawi Ibnu ‘Abbâs Radliyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Mâjah, dan lainnya.[1] Kekuatan dalil kaedah fiqhiyah yang terambil langsung dari nash Rasulullah Saw. jauh diatas kekuatan sebuah kaedah fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda beliau.[2]

Kaidah diatas mempunyai cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlarotan yang berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang lain. Kaidah ini merupakan kaedah umum mencakup pelbagai macam aspek, mulai dari makanan, pergaulan, muamalah dan lain sebagainya.

Berdasarkan kaidah ini, dapat kita ketahui bahwa dlarar (melakukan sesuatu yang membahayakan) dilarang dalam ajaran agama Islam. Maka, tidak halal bagi seorang muslim mengerjakan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri atau membahayakan saudaranya sesama muslim, baik berupa perkataan atau perbuatan, tanpa alasan yang benar. Dan semakin kuat larangan tersebut jika dlarar itu dilakukan kepada orang-orang yang wajib dipergauli secara ihsân, seperti karib kerabat, isteri, tetangga, dan semisalnya.

Misal saja, si Fulan memiliki sound system yang biasa ia gunakan untuk memutar lagu-lagu kesukaannya. Suatu ketika, pada malam hari, Fulan memutar lagu-lagu kesukaanya dengan suara yang cukup keras, hingga membangunkan tetangganya yang berada disekitar laman rumahnya. Tindakan Fulan tentu bisa berakibat pada hubungan yang buruk dengan tetangganya. Dan ini menimbulkan dua sekaligus bentuk mudlarat, yaitu kepada diri sendir dan orang lain. Mudlarat pada diri sendiri karena hilangnya hubungan saling menjaga–harmonis–antara  Fulan dengan tetangganya, dan mudlarat kepada orang lain karena Fulan telah menggangu waktu istirahat tetangganya.

Maka seyogyanya, seseorang dilarang menggunakan barang miliknya jika hal itu menimbulkan madlarat (gangguan atau bahaya) kepada tetangganya. Meskipun ia mempunyai hak milik secara penuh terhadap barang tersebut, namun dalam pemanfaatannya haruslah diperhatikan supaya tidak memadlaratkan, mengganggu, ataupun merugikan tetangganya.

Contoh lainnya dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan mengadakan gangguan di jalan-jalan kaum Muslimin, di pasar-pasar mereka, ataupun di tempat-tempat kaum Muslimin yang lain. Baik gangguan itu berupa kayu atau batu yang menggangu perjalanan, atau lobang galian yang bisa membahayakan, atau bentuk gangguan lainnya. Karena semuanya itu bisa menimbulkan madharat kepada kaum Muslimin.[3]

Dengan demikian, setiap madlarat yang ditimbulkan kepada seorang Muslim termasuk perkara yang diharamkan. Kemudian, jika seseorang dilarang menimbulkan madharat kepada dirinya sendiri ataupun orang Muslim lainnya, maka sebaliknya ia diperintahkan untuk memunculkan ihsân dalam setiap amalan yang ia kerjakan.[4] Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” – QS. al-Baqarah (2): 195

Rasulullah Saw. pun bersabda :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ, فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ, وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ, وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsân (kebaikan) dalam segala hal. Maka jika kamu membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh. Dan jika kamu menyembelih, maka berbuat baiklah dalam menyembelih, hendaklah ia tajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya.”[5]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk berbuat ihsân, sampai dalam perkara menghilangkan nyawa. Hal ini menunjukkan pentingnya bagi seseorang untuk senantiasa memperhatikan konsep ihsân dalam setiap aktivitas yang ia kerjakan. Maka sudah sepatutnya bila kita menanamkan jiwa yang suka menanam kebaikan. Meski belum tentu kita panen, tanam saja. Kebaikan adalah tentang memberi. Sapi, kambing dengan susu dan dagingnya. Ayam dengan telurnya, lebah dengan madunya. Hutan dengan kayu dan udara bersihnya. Pepohonan dengan buah dan sayurnya.

Wallâhu a`lam. []

Wahid Hasyim, 19 Januari 2015



[1] HR. Imam Ahmad 1/313. Ibnu Mâjah dalam Kitab al-Ahkâm, Bab Man banâ bihaqqihi mâ yadhurru jârahu, No. 2341. At-Thabrâni dalam Al-Kabir, No. 11806 dari Jâbir al-Jâ'fi dari Ikrîmah dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu. Hadits ini mempunyai banyak syâhid sehingga semakin kuat. Di mana hadits ini diriwayatkan dari Ubadah bin Shâmit, Abu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah, Jâbir bin `Abdillâh, `Aisyah, Tsa'labah bin Abi Mâlik al-Qurazhi, dan Abu Lubâbah Radliyallahu ‘anhum.
[2] Lihat al-Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi al Ghozzi hal : 251
[3] Lihat Asy-Syarhul-Kabîr ma'al-Inshâf 13/195.
[4] Baca al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, yang dikutip majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIII/1430H/2009.
[5] HR. Muslim dalam Kitab Ash-Shaid, Bab al-Amru bi Ihsâni Adz-Dzabhi, no. 1955, dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu.

Sempak

Udara pagi begitu sejuk dan menenangkan hati. Ya barangkali memang sudah menjadi sifat pagi yang selalu menawarkan kisah baru yang belum pernah kita tahu, dan tak ada cara yang pas menyambutnya selain dengan semangat yang baru pula.

Seperti biasanya, kuawali hari pagi dengan memanjakan diri sendiri. Dengan secangkir kopi, beberapa rokok (kali ini cerutu, rokok ukuran besar yang terbuat dari balutan daun-daun tembakau), dan buku bacaan (kali ini buku sastra, DRAMA ITU BERKISAH TERLALU JAUH, kumpulan cerita pendek, karya Puthut EA). "Ah, bahagia itu memang sederhana, kawan!"

Kuambil kunci motor milikku, tapi kubatalkan, dan kuganti dengan kunci sepeda milik adik tingkatku. Tukeran. Mengingat aku tak ada kesibukan alias santai, sedang adik tingkatku masuk kuliah pagi.

Setiba di warung kopi, ternyata aku sudah dipesankan kopi oleh temanku yang lebih dulu pergi ke warung kopi. Aku duduk. Membuka tutup cangkir kopi, dan menyeruputnya.

"Dia sudah menjadi sempak." Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulut temanku yang berasal dari Jepara, Heraclius.

"Apa maksudmu?" Aku bertanya.

"Aku sendiri tak tahu." Jawab kawanku.

"Lantas, untuk apa kau mengeluarkan kalimat seperti itu? Apa gunanya bagimu?" Aku mencoba mengejar jawaban.

"Aku tak tahu." Jawab kawanku.

"Kalau begitu, biarkan aku memberi maksud atas kalimatmu itu. Kau berkata; "Dia sudah menjadi sempak". Barangkali kau hendak mengatakan nasi sudah menjadi bubur. Sempak terbuat dari kain katun, dan karena kain katun sudah menjadi sempak, maka ia tak dapat lagi dikembalikan ke bentuknya yang sediakala. Namun bagaimana pun sempak adalah alat yang cukup penting. Bagaimanapun sempak ada manfaatnya. Seperti koteka saudara-saudara kita yang ada di Papua. Seperti juga nasi yang sudah menjadi bubur, dan bubur yang tetap saja dapat kita nikmati. Pun dengan wanita pujaanmu, meskipun ia telah menjadi milik orang lain, kau masih dapat mencintainya dalam diammu, kau juga masih dapat menikmati keelokan paras cantiknya, dan kau juga tetap dapat mengirimkan untaian-untaian doa kepadanya. Hidup itu tergantung bagaimana kita memandang dan menyikapi apa yang harus kita hadapi." Jelasku cukup panjang.

"Ya seperti itulah." Tanggap kawanku singkat.

Setelah itu mereka mulai tertawa cekikikan, menikmati waktu pagi dengan kebersamaan, dan memakan gorengan-gorengan panas secara perlahan. Ah, kehidupan seperti ini istimewa sekali bukan? []


Warung Kopi Mato, 15 Desember 2015

Cerita Tak Karuan

Waktu sore kuhabiskan dengan duduk santai di teras catur untuk sekedar mencari ketenangan dan menikmati senja yang mulai tua. Sesekali terdengar suara anak-anak tertawa ceria, sesekali juga terlihat anak-anak sedang berlari ke sana ke mari, bermain petak umpet, dan bersepeda. Bahagia mereka begitu sederhana bukan? Ya.

Terkadang aku ingin kembali seperti mereka, seperti anak kecil. Mereka selalu saja tertawa girang, penuh canda ria, sesekali usil kemudian bertengkar dan pada akhirnya tetap saja mereka saling memaafkan. Bisakah aku kembali ke masa tersebut? Tentu tidak. Lalu bagaimana caraku agar dapat berbahagia sederhana? Simple, cukup menghitung apa yang masih kumiliki dan kemudian mensyukurinya (walau pada kenyataannya tetap saja tak mampu kuhitung), dan jikalau aku merasa letih, maka aku hanya perlu mencukupkan keletihanku ke dalam istirahat yang cukup. Ya begitulah, urip kui mung piye carane lek nyikapine.

Setidaknya aku masih dapat meneladani sifat-sifat baik mereka, karena sifat-sifat mereka adalah sifat air yang selalu mengalir. Bisa kau bayangkan bila air itu tidak mengalir, ia akan mampet dan menyebabkan banjir, pendendam, dan anak kecil tak memiliki itu. Kau pun harus memahami satu hal bahwa dalam hal meneladani ataupun belajar, kau bisa saja meneladani yang lebih muda ataupun belajar kepada yang lebih muda. Tak masalah. Buang saja egomu itu jauh-jauh.

Jika kau orang yang dewasa atau katakanlah orang tua, maka tugasmu adalah untuk membimbing anak kecil yang serba ingin tahu, bahwa kau harus tahu jika anak kecil itu mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Tugasmu sebagai orang dewasa ataupun orang tua bukan untuk melarangnya, melainkan mengarahkannya. Dikhawatirkan, bila kau melarangnya (membatasi rasa ingin tahunya), ketika anak kecil itu sudah tumbuh dewasa, ia akan takut untuk mencoba hal-hal lain yang ingin diketahuinya.

“Ngomong-ngomong, apa kabar waktu soremu, wahai wanita penunggu senja?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku, dan kemudian aku diam. Ya, aku lebih banyak diam, dan kau perlu tahu satu hal bahwa diam bukan berarti aku tak mencintaimu. Dalam diam aku senantiasa memikirkanmu, dan memandang dari kejauhan adalah cara terbaiku untuk mencintaimu, karna kesabaranku tak cukup untuk membuatmu percaya dan tak cukup membuatmu sadar.

“Hey! Ngelamun terus.”

Aku kaget. Hampir jatuh dari kursi. Aku hendak naik pitam, tapi untuk apa? Tanpa angin, tanpa hujan, dan tanpa diduga-duga sepupuku pulang dari petualangannya menyusuri pantai-pantai yang berada di Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya kuputuskan untuk tidak jadi naik pitam, kuputuskan untuk mengganti raut wajahku dengan raut wajah ramah dan mimik wajah yang terlihat begitu senang tatkala bertemu dengan seseorang yang dirindunya. Setelah itu kami bercakap-cakap sekedarnya.

Senja akhirnya hilang, berganti dengan gelapnya malam. Kubergegas pergi ke kamar mandi. Mengambil handuk, mengisi ulang sabun cair, dan membawa seperangkat alat mandi lainnya. Air terasa dingin. Tubuhku merasa segar. Kepalaku yang sebelumnya terasa berat mulai terasa ringan.

“Sudah mandi?” Sepupuku bertanya.

“Sudah. Air di sini terasa menyegarkan.” Aku menjawab.

Adzan Maghrib terdengar, lirih. Kubergegas pergi ke masjid. Sengaja tak memakai peci. Agar orang lain menganggapku liberal, agar orang lain tahu bahwa seorang muslim liberal pun tetap shalat ber-jama`ah, agar orang lain mengerti bahwa muslim liberal bukanlah orang yang harus dimusuhi. Demi nama manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

Ritual ibdadah pun akhirnya selesai. Kukembali menuju kediaman. Sepupuku mengajak makan sego megono. Aku dan sepupuku pergi keluar, mencari sego megono. Demi sego megono, aku dan sepupuku harus rela menerjang hujan dan dinginnya angin yang berhembus riung. Namun tak apa, karena setiba di lokasi lidah langsung dimanjakan mendoan dan pelbagai makanan khas Pekalongan (walau rasa tak bisa bohong) beserta kehangatannya. Tak tahukah kau, bahwa menunggu santap makan malam yang berupa sego megono di pinggiran jalan sembari menikmati hilir lalu-lalangnya kendaraan adalah salah satu dari sekian banyak cara menikmati kehidupan di kota rauntauan?

Makan pun selesai. Aku dan sepupuku kembali ke kediaman. Setiba di kediaman, gegas kuambil buku, belajar sebentar. Aku hampir lupa kalau malam ini di pondok ada jadwal ujian. Ujian pondok? Ya. Sekelas mahasiswa masih hidup di pondok? Tentu saja. Kaum sarungan adalah bagian dari hidupku, dan jujur saja, aku tak bisa hidup jauh-jauh dari kaum sarungan (adat dan tradisi kaum sarungan itu keren tahu). Ya, bagiku kaum sarungan adalah pendidikan terbaik yang dimiliki oleh dunia, bagaimana seorang kyai dengan keikhlasannya mampu mentransfer nilai-nilai hidup dan kehidupan. Inilah kami "pesantren" dengan mengedepankan panca jiwa yang ada, langka dicari, susah di dapat dan mahal harganya.

Setibaku di kelas ujian, ternyata ujian malam ini ada delapan soal, dan semua kujawab (bahkan kulebihkan menjadi sembilan). Yakni berupa satu jawaban serius, empat jawaban agak serius, tiga jawaban tidak serius, dan kutambah satu buah untaian kata sebagai berikut; "Tuhanku, sudah seyogyanya bila aku bersyukur kepada-Mu, bahkan bukan hanya aku melainkan kami semua manusia. Semoga engkau kami senantiasa berada dalam kasih-Mu, selaras dengan semesta, menolongantar sesama, dan senantiasa menebarkan cinta kasih dan welas asih."

Ya begitulah. Aku seringkali bertindak ring-rong alias kurang umum bagi khayalak. Bagiku ujian sama halnya seperti permainan. Walau aku tak bisa memainkannya, kuanggap asyik saja. Walau aku tak bisa menjawabnya, biar saja. Hal yang terpenting adalah kau harus percaya bahwa ada potensi tersembunyi yang tidur dalam dirimu. Tugasmu adalah mencari potensi apa yang terpendam dalam dirimu dan membangunkannya. Cepat atau lambat, potensi itu pasti bangkit. Jangan kau buat sia-sia potensi yang ada pada dirimu. Masalahmu mungkin memang tak bisa diselesaikan secara langsung, tetapi suatu saat masalahmu pasti terselesaikan. Kau sendiri harus paham bahwa masalah bukan untuk menguji seberapa mampu kau bertahan terhadap gempuran-gempuran kehidupan, atau seberapa banyak kau memiliki kekuatan, melaiankan untuk memberikan kau waktu dan kesempatan, untuk melatih kedewasaan dan mengambil kebijaksanaan dalap bersikap, yang tertuang dalam kehidupan ruang dan waktu dengan sikap yang tentu patut ditiru, selaras dengan semesta.

Jangan pernah berputus asa, selagi kau berusaha, kau pasti mencapai tujuamu. Namun, jika kau memutuskan untuk menyerah, maka pada saat itu pula kau memutuskan untuk tidak dapat apa-apa. Hingga ajal merenggut nafasmu nanti, jangan pernah menyerah, jangan pernah berhenti berproses. Jatuh bukanlah sesuatu yang memalukan, yang memalukan adalah jika kau jatuh namun kau memutuskan untuk tidak berdiri lagi. Perlebarlah cara pandangmu dan bagaimana tindakanmu jauh ke depan, niscaya akan banyak hal yang dapat kau lakukan. Jika kau bodoh dalam satu pelajaran, belum tentu kau bodoh dalam pelajaran lainnya. Jika kau bodoh dalam matematika, belum tentu kau bodoh dalam keilmuan agama. Jika kau bodoh dalam fisika, belum tentu kau bodoh dalam keilmuan hermeneutika. Itu sudah lumrah, kan?

Nah, untuk kau dan kau yang sudah merasa pintar, saranku, tak perlu memandang rendah kebaikan orang lain dengan membandingkan kebaikan dirimu. Kau juga tak perlu menganggap orang lain lebih bodoh dibanding dirimu. Ketahuilah bahwa saling memandang kebaikan tanpa merendahkan itu indah, saling berprasangka baik dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan sesama adalah salah satu cara agar dapat selaras dengan semesta.

Kau pun harus mengerti, bahwa dalam ruang kelas, atau dalam strata pendidikan, kau boleh saja lebih tinggi, lebih tua, atau lebih dulu tahu dalam jenjangan waktu. Namun, jangan pernah kau merasa lebih pintar. Karena rasa akan kepintaranmu itu suatu waktu akan menjadi bumerang ataupun bom waktu masa depanmu.

Aku memang tidak memiliki kekuatan hafalan kuat seperti para penghafal al-Qur'an, juga tidak memiliki kecerdasan luar biasa seperti para generasi turunan umat Yahudi, dan tidak pula memiliki keluasan kebijaksanaan seperti para filsuf. Tetapi aku berusaha lebih keras dibanding lainnya. Aku seperti seorang murid yang dekat dengan gagal dan jauh akan pintar. Tetapi selalu meninjau kembali, memeriksa, memperbaiki, dan merevisi di setiap ujian dan berujung baik di akhir.

Ya begitulah santri, kaum sarungan. Tak tahukah kau, bahwa jalan hidup santri adalah kesejatian menapaki jalan hidup ini? Okay, aku akan bercerita panjang lebar, karena pada hakikatnya aku memang sedang bercerita tak karu-karuan. Cerita ini pada mulanya dimuat di laman situs santrijagad.org yang berjudul; “Bang Idin, Santri Tebiureng Jawara Lingkungan.”

Namanya Haji Chaerudin, beliau lahir pada tanggal 13 April 1956. Beliau seorang tamatan SMP yang memulai penjelajahannya di Kali Pesanggrahan pada 1989. Saat itu ia bertualang selama lima hari enam malam, menyusuri Kali Pesanggrahan ke hulunya di Kaki Gunung Pangrango sejauh 136 km dengan berjalan kaki atau berakit batang pisang.

Ia mencari tahu apa saja yang masih tersisa di sepanjang aliran kali. Pohon apa saja yang tak lagi tegak, satwa apa saja yang lenyap, ikan apa saja yang minggat, dan mata air mana saja yang alirannya tersumbat. Usahanya dimulai dengan membersihkan sampah. Langkah awal ini ternyata tidak mudah.

Syahdan, berkat kesabaran dan tekad kuat, lambat laun, kesadaran juragan-juragan tanah yang membangun pagar beton tinggi hingga ke bantaran kali mulai tumbuh. Bang Idin kemudian juga mengajak teman-temannya sesama petani penggarap untuk mengikuti langkahnya.

Kini, mereka berhasil menanam 40 ribuan pohon produktif di sepanjang bantaran kali. Burung-burung yang dulunya pergi akhirnya kembali. Mata air yang dulu tertutup sampah, kembali hidup. Air kali Pesanggrahan kini sudah normal kembali. Ikan-ikan bisa hidup dan berkembang biak.

Hal yang paling utama, si Jampang Penghijau ini tidak hanya sekadar merehabilitasi dan melakukan konservasi alam, tetapi juga berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar bantaran kali sehingga mereka bisa hidup dari kegiatan bertani dan beternak.

Pohon produktif, seperti melinjo, kelapa, dan durian bisa dipanen. Demikian juga sayur-mayur yang ditanam di bantaran kali. Sementara pembibitan ikan juga bisa dilakukan di air yang jernih. Sebagian lahan bantaran kali juga digunakan untuk berternak kambing etawa. “Penyelamatan alam itu harus punya nilai kehidupan,” usungnya.

Hasilnya sungguh luar biasa. Area seluas 40 hektar, membentang sepanjang tepian Kali Pesanggrahan, menjadi ijo royo-royo. Burung-burung berkicau setiap hari. Bahkan burung cakakak yang bersarang di tanah dan sudah jarang ditemui di wilayah lain di Jakarta, kini juga bisa ditemukan. Pohon-pohon yang mulai langka di Jakarta, seperti buni, jamblang, kirai, salam, tanjung, kecapi, kepel, rengas, mandalka, drowakan, gandaria, dan bisbul dapat dijumpai di sini. Belum lagi tanaman obat yang jumlahnya mencapai 142 jenis.

Tentang Islam dan lingkungan, ia berpendapat; “Tak boleh kita bicara ‘kebersihan sebagian dari iman’ tapi sampah di selokan masjid masih dibiarkan. Taqwa ‘kan tak bisa diartikan dari satu sudut saja. Mengapa sampah-sampah itu tidak kita bereskan, ditampung, diolah, dibikin sesuatu, jadi bermanfaat, tak perlu menunggu presiden, gubernur, camat. Taqwa itu luas. Orang muslim sejati itu bak tawon, tidak merusak justru menebar manfaat, tapi kalau diganggu pantang mundur. Tapi sekarang, berbeda sedikit, main bakar masjid. Alasannya ‘laa ilaaha illallaah’, sadis betul. Kalau saya, berpedoman ‘laa ilaaha illallaah’, apapun mazhabnya itu urusan Tuhan. Kita pengucap syahadat tak boleh berlaku dzalim.”

Ia menambahkan, "Saya di Pesantren Tebuireng dua tahunan, sekitar tahun tujuh puluh dua. Saya datang ke sana dan pulang tanpa disuruh siapapun. Di sana, saya menimba air buat wudhu di masjid. Kalau yang lain baca kitab di malam hari, saya tidur karena kecapekan. Kakek saya teman Kiai Hasyim Asy’ari semasa perang. Kekaguman saya kepada beliau membuat saya mengaji ke Tebuireng. Beliau juga dahulu berjuang dalam pertanian, itulah yang saya ikuti. Saya tidak pandai baca kitab, tapi bisalah mengaktualkan apa yang saya tahu. Setidaknya kita punya nilai, meskipun cuma setitik embun di padang pasir. Saya tidak ada cita-cita nanti bagaimana, apalagi cari beken. Mengalir saja seperti air di sungai, begitu sifat santri."

Jadi, masih ragukah kau untuk menempuh jalan hidup yang seperti ini? []


Yogyakarta, 13 Desember 2015