Di keheningan, di saat malam semakin menampakkan kepekatannya, aku
terduduk diam di anak tangga. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kubuka
telepon genggan, kosong. Kubuka kembali, kosong. Ya begitulah, berulangkali aku
membuka telepon genggam tetap saja kosong.
Angin segar menyapa kulitku, menggigil. Kuambil sebatang rokok
(lalu kuhisap dalam), habis. Kuambil lagi (masih kuhisap dalam), habis. Ya
begitulah, berulang kali kuambil rokok dan habis kuhisap dalam.
Suasana dingin membuat perutku lapar. Kupergi ke warung. Bingung.
Aku tak tahu hendak memesan apa. Perutku lapar, tapi mulut dan lidah menolak
dengan sangar. Mulut dan lidahku terasa kaku. Ujung-ujungnya kuputuskan kembali
dengan lapar yang semakin menjadi-jadi.
Barangkali benar apa yang pernah dikatakan seorang pujangga, bahwa
ada hal terpenting yang kita tahu, pelajaran pertama yang kita pelajari. Tapi
rasa lapar, bisa dengan mudah diatasi, dengan mudah terpuaskan. Ada paksaan
yang lain, rasa lapar yang berbeda, rasa haus yang tak terpuaskan yang tak bisa
dihentikan. Kehadirannyalah yang mendefinisikan kita, yang menjadikan kita
manusia. Paksaan itu adalah "cinta". Dengan kata lain, rasa laparku
adalah rasa lapar yang berbeda, dan rasa lapar itu bernama "cinta".
Cinta, adalah satu paksaan yang tak bisa dijelaskan, tak bisa
dipecah menjadi proses kimia. Ia adalah mercusuar yang menuntun kita kembali
pulang, saat tak ada satu pun di sana dan cahayanya menerangi rasa duka kita.
Ketidakhadirannya merampas semua kesenangan kita, merampas kemampuan kita untuk
bersukacita. Membuat malam kita semakin gelap dan siang kita menjadi mendung.
Tapi saat kita menemukan cinta, tak peduli seberapa salah, sedih atau
mengerikan, kita berpegang padanya. Ia memberi kita kekuatan. Ia menggenggam
kita dengan tulus. Ia makan dari kita dan kita makan dari dia. Cinta adalah
anugerah kita. Cinta adalah kehancuran kita.
Akan tetapi, bilamana cinta paksaan, maka mengapa ia kau sebut
sebagai mercusuar yang menuntun tuk kembali pulang? Adakah kepulanganmu sebuah
keterpaksaan? Ah, aku tak paham. Aku terlalu bodoh untuk mengerti dan memahami
rasa lapar bernama cinta. Apakah ini yang dinamakan kerinduan? Ah, entahlah.
Cinta bertahta diatas segala garis, bersila diatas
segala mungkin. Cinta itu rumit bila didefinisikan. Akan tetapi, bagaimana jika
ia hanya kata? Cinta. Ah, mungkin memang seperti itulah cinta. Ah, aku terlalu
banyak berkata-kata. Siapa yang tahu kapan cinta akan datang menyapa dan kapan cinta
akan pergi meninggalkan luka? Tanpa tanda dan tanpa syarat, kadang perasaan
tersebut membuncah muncul dari dalam hati. Baik itu karena pandangan pertama,
sentuhan yang lama, maupun karena merasa memiliki perasaan yang sama. Sungguh indah rasa bernama
cinta, lebih indah dari untaian kata pembawa berita. Ah, lagi-lagi aku terlalu
banayk berkata-kata.
Tenggorokanku terasa kering. Kuambil segelas air putih (lalu
kuteguk), segar. Kuambil lagi (lalu kuteguk lagi), segar. Ya begitulah,
barangkali tiada minuman yang lebih sehat lagi menyegarkan selain air putih.
Kepalaku terasa berat. Pikiranku terasa suntuk. Kuambil sebuah
buku, kucoba membaca dan menelaahnya, gagal. Kuambil buku lain, dan kucoba lagi
untuk membaca dan menelaahnya, gagal. Berulangkali kuambil buku, kumenggantinya
dengan buku lain, mencoba membaca dan menelaahnya, namun berulangkali itu juga
aku gagal.
Tiba-tiba terdengar suara, suara yang tak asing bagi telingaku,
suara dari sanubariku sendiri. Suara itu berkata; "Sudah menjadi takdirmu
untuk hidup dalam nestapa, wahai petapa duka!"
Aku membisu. Berpura-pura tidak tahu dari mana suara itu berasal.
Aku gelisah. Tak tahu harus berbuat apa. Apakah aku sedang terlunta-lunta
karena cinta? Ah, aku bukan lagi anak kecil. Lalu kenapa? Ah, barangkali memang
benar bahwa sudah takdirku sebagai petapa duka untuk hidup dalam nestapa.
Akhirnya, kupergi ke kamar
mandi. Menyikat gigi, berwudlu. Kembali ke kamar. Mengganti celana dengan
sarung, mengganti baju kaos dengan kemeja panjang, memakai peci, menggelar
sajadah, dan bersandar kepada-Nya.
"Ilahi, pinjamkanlah kekuatan-Mu kepada hamba-Mu ini, kekuatan
untuk menata puing-puing emosi yang ada dalam diri ini menjadi rumah
kebahagiaan sejati!"
Kuhabiskan sisa malamku dengan senandung sunyi dan selimut
keheningan. Lambat tapi pasti, alunan kisah perlahan melantun dan mengayunkan
angan kenangan. Membaur bersama hati yang semakin lama semakin tenggelam dalam
ringkihnya kesendirian. Aku berpangku tangan. Tiba-tiba airmata meleleh, isak
tangis kemudian menggebu. Lelah. Airmata tetap menetes. Pasrah. Tak terasa isak
tangis telah berhenti, namun rasa gundah semakin menjadi-jadi.
Aku menyemedikan hati untuk mendapatkan kesunyian di tengah
keramaian, agar di mana pun aku berada
senantiasa dapat berenung tenang. Hati yang setebal benteng pertahanan perlahan
tembus. Jiwa yang sekeras batu perlahan runtuh. Bersama malam, kulukiskan
segala keindahan dan pegantar sejuta harapan.
"Ilahi, kerana aku ada
atas sukma satu-Mu, kabulkan rinai gerimis tangisku. Sebelum bumi
terkotak-kotak asa, dan langit hilang dari pandangan."
Embun-embun membeku. Entah kenapa untuk malam yang tanpa alasan
canduku datang begitu saja. Ketika aku berbagi mimpi kepada pekatnya malam di
tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, yang menguap oleh asa dan buku-buku, yang
menguap bagai candu yang kuhirup. Pada selasar angin dan hujan, pada rimba dan
rumput-rumput dibebukitan, bagi jiwa yang redup, yang melewati batas-batas
sadarku.
“Kembalilah untuk selaras dengan semesta. Jangan terlarut
romantisme masa lalu.” Lagi-lagi terdengar suara, dan suara itu memecah
kesunyian. Tak asing bagiku untuk mencari dari mana suara itu berasal. Menjaring
langit merogoh bumi. Dekat ataupun jauh tak lagi bisa ditebak. Ah, mungkin memang
sudah semestinya seperti itu, sudah semestinya bila kesepian senantiasa
membangkitkan kenangan. Indah. Memabukkan. Bulir-bulir air mengalir dari telaga.
Senja berganti malam. Polos dalam ketenangan. Sirnalah semua mimpi. Ingkarlah
semua janji. Tinggallah Sunyi. Sendiri. Sepi.
Setelah aku mengira telah mendapatkan apa yang kubutuhkan, kulipat
sajadah, kutanggalkan peci, dan aku pergi ke luar kamar. Kuberbaring di
hamparan luas. Di langit-langit malam, bulan terlihat purnama. Terang. Indah.
Begitu indah. Seketika itu juga dalam hatiku terdetik sebuah asa. Lagi,
kulayangkan langkah menuju puncak kenikmatan nyata.
Setapak demi setapak kutelusuri jalur rumah-Nya. Hampir waktunya kuraih.
Hati kecil berteriak halus; "Bersediakah kau, bertunai peristiwa yang maha
penting, yang begitu langka kau temui sepanjang hidupmu sebelum atau sesudah
waktumu?"
Aku sentuh dinginnya air suci. Lagi, kuhamparkan sajadah dan aku
terlarut dalam lautan kasih-Nya. Tentram. Aku semakin hanyut. Oh, rasanya aku
tak mau kehilangan malam yang penuh keheningan, syahdu yang menyejukkan. Malam
ini menyirami jiwaku yang begitu kotor. Damai.
Oh malam, kau selalu saja dapat membiusku hingga terjaga akan
penantian keheningan syahdu haru sendu membiru, yang masih beradu padu desahkan
nafas. Nafsu, cumbu, merayu, meragu, malu-malu. Pada cadas penuh luka, menistakan
jiwa-jiwa suci yang penuh daki membasi.
Bukan kehangatan yang diberikan olehnya, bukan pula kasih tulus
yang ditawarkan olehnya. Tetapi kedinginan yang menusuk sumsum tulang, membeku
di sudut ruang. Tak satupun yang mengerti. Tak satupun yang memahami. Sembilu
yang menyayat hati. Kini semakin kuat. Menorehkan binatang bernama perih dan
sakit. Bersama kabut yang menyelimuti malam. Tenggelam dalam dinginnya
kepalsuan. Membisu seribu makna. Terbungkus rapi dalam kotak pandora. Tersamar
oleh semaraknya cahaya makhluk penghuni langit malam. Terabu-abukan oleh kabut
yang menyelimuti kolong buana.
“Ilahi, keindahan malam-Mu tiada pernah terganti. Ketenangan ini,
dingin ini, dan apa-apa yang di langit itu membuatku ingin selalu dekat-Mu, izinkan
aku bersujud di bumi-Mu, menyerukan pujianku atas ciptaan dan kuasa-Mu. Ilahi,
dekaplah aku selalu dalam pelukan-Mu, terjatuh dan gagal itu pasti, tetapi beri
aku kekuatan kembali untuk berdiri dan berlari. Ilahi, aku seperti debu yang
begitu kecil ketika aku menatap besarnya dunia milik-Mu, kuharap
untaian-untaian do`a yang kupanjatkan bisa tersampai kepada-Mu, di antara ribuan
bahkan jutaan untaian-untaian do`a dari seluruh manusia di muka bumi, aku hanyalah
manusia yang penuh dengan nista dan berlumur dosa, yang hanya mampu bersujud
dan meminta pada-Mu. Sesungguhnya hati ini milik-Mu yaa Rabb.” []
Wahid Hasyim, 13 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar