Minggu, 20 Desember 2015

Petapa Duka

Di keheningan, di saat malam semakin menampakkan kepekatannya, aku terduduk diam di anak tangga. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kubuka telepon genggan, kosong. Kubuka kembali, kosong. Ya begitulah, berulangkali aku membuka telepon genggam tetap saja kosong.

Angin segar menyapa kulitku, menggigil. Kuambil sebatang rokok (lalu kuhisap dalam), habis. Kuambil lagi (masih kuhisap dalam), habis. Ya begitulah, berulang kali kuambil rokok dan habis kuhisap dalam.

Suasana dingin membuat perutku lapar. Kupergi ke warung. Bingung. Aku tak tahu hendak memesan apa. Perutku lapar, tapi mulut dan lidah menolak dengan sangar. Mulut dan lidahku terasa kaku. Ujung-ujungnya kuputuskan kembali dengan lapar yang semakin menjadi-jadi.

Barangkali benar apa yang pernah dikatakan seorang pujangga, bahwa ada hal terpenting yang kita tahu, pelajaran pertama yang kita pelajari. Tapi rasa lapar, bisa dengan mudah diatasi, dengan mudah terpuaskan. Ada paksaan yang lain, rasa lapar yang berbeda, rasa haus yang tak terpuaskan yang tak bisa dihentikan. Kehadirannyalah yang mendefinisikan kita, yang menjadikan kita manusia. Paksaan itu adalah "cinta". Dengan kata lain, rasa laparku adalah rasa lapar yang berbeda, dan rasa lapar itu bernama "cinta".

Cinta, adalah satu paksaan yang tak bisa dijelaskan, tak bisa dipecah menjadi proses kimia. Ia adalah mercusuar yang menuntun kita kembali pulang, saat tak ada satu pun di sana dan cahayanya menerangi rasa duka kita. Ketidakhadirannya merampas semua kesenangan kita, merampas kemampuan kita untuk bersukacita. Membuat malam kita semakin gelap dan siang kita menjadi mendung. Tapi saat kita menemukan cinta, tak peduli seberapa salah, sedih atau mengerikan, kita berpegang padanya. Ia memberi kita kekuatan. Ia menggenggam kita dengan tulus. Ia makan dari kita dan kita makan dari dia. Cinta adalah anugerah kita. Cinta adalah kehancuran kita.

Akan tetapi, bilamana cinta paksaan, maka mengapa ia kau sebut sebagai mercusuar yang menuntun tuk kembali pulang? Adakah kepulanganmu sebuah keterpaksaan? Ah, aku tak paham. Aku terlalu bodoh untuk mengerti dan memahami rasa lapar bernama cinta. Apakah ini yang dinamakan kerinduan? Ah, entahlah.

Cinta bertahta diatas segala garis, bersila diatas segala mungkin. Cinta itu rumit bila didefinisikan. Akan tetapi, bagaimana jika ia hanya kata? Cinta. Ah, mungkin memang seperti itulah cinta. Ah, aku terlalu banyak berkata-kata. Siapa yang tahu kapan cinta akan datang menyapa dan kapan cinta akan pergi meninggalkan luka? Tanpa tanda dan tanpa syarat, kadang perasaan tersebut membuncah muncul dari dalam hati. Baik itu karena pandangan pertama, sentuhan yang lama, maupun karena merasa memiliki perasaan yang sama. Sungguh indah rasa bernama cinta, lebih indah dari untaian kata pembawa berita. Ah, lagi-lagi aku terlalu banayk berkata-kata.

Tenggorokanku terasa kering. Kuambil segelas air putih (lalu kuteguk), segar. Kuambil lagi (lalu kuteguk lagi), segar. Ya begitulah, barangkali tiada minuman yang lebih sehat lagi menyegarkan selain air putih.

Kepalaku terasa berat. Pikiranku terasa suntuk. Kuambil sebuah buku, kucoba membaca dan menelaahnya, gagal. Kuambil buku lain, dan kucoba lagi untuk membaca dan menelaahnya, gagal. Berulangkali kuambil buku, kumenggantinya dengan buku lain, mencoba membaca dan menelaahnya, namun berulangkali itu juga aku gagal.

Tiba-tiba terdengar suara, suara yang tak asing bagi telingaku, suara dari sanubariku sendiri. Suara itu berkata; "Sudah menjadi takdirmu untuk hidup dalam nestapa, wahai petapa duka!"

Aku membisu. Berpura-pura tidak tahu dari mana suara itu berasal. Aku gelisah. Tak tahu harus berbuat apa. Apakah aku sedang terlunta-lunta karena cinta? Ah, aku bukan lagi anak kecil. Lalu kenapa? Ah, barangkali memang benar bahwa sudah takdirku sebagai petapa duka untuk hidup dalam nestapa.

Akhirnya, kupergi  ke kamar mandi. Menyikat gigi, berwudlu. Kembali ke kamar. Mengganti celana dengan sarung, mengganti baju kaos dengan kemeja panjang, memakai peci, menggelar sajadah, dan bersandar kepada-Nya.

"Ilahi, pinjamkanlah kekuatan-Mu kepada hamba-Mu ini, kekuatan untuk menata puing-puing emosi yang ada dalam diri ini menjadi rumah kebahagiaan sejati!"

Kuhabiskan sisa malamku dengan senandung sunyi dan selimut keheningan. Lambat tapi pasti, alunan kisah perlahan melantun dan mengayunkan angan kenangan. Membaur bersama hati yang semakin lama semakin tenggelam dalam ringkihnya kesendirian. Aku berpangku tangan. Tiba-tiba airmata meleleh, isak tangis kemudian menggebu. Lelah. Airmata tetap menetes. Pasrah. Tak terasa isak tangis telah berhenti, namun rasa gundah semakin menjadi-jadi.

Aku menyemedikan hati untuk mendapatkan kesunyian di tengah keramaian, agar di mana  pun aku berada senantiasa dapat berenung tenang. Hati yang setebal benteng pertahanan perlahan tembus. Jiwa yang sekeras batu perlahan runtuh. Bersama malam, kulukiskan segala keindahan dan pegantar sejuta harapan.

 "Ilahi, kerana aku ada atas sukma satu-Mu, kabulkan rinai gerimis tangisku. Sebelum bumi terkotak-kotak asa, dan langit hilang dari pandangan."

Embun-embun membeku. Entah kenapa untuk malam yang tanpa alasan canduku datang begitu saja. Ketika aku berbagi mimpi kepada pekatnya malam di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota, yang menguap oleh asa dan buku-buku, yang menguap bagai candu yang kuhirup. Pada selasar angin dan hujan, pada rimba dan rumput-rumput dibebukitan, bagi jiwa yang redup, yang melewati batas-batas sadarku.

“Kembalilah untuk selaras dengan semesta. Jangan terlarut romantisme masa lalu.” Lagi-lagi terdengar suara, dan suara itu memecah kesunyian. Tak asing bagiku untuk mencari dari mana suara itu berasal. Menjaring langit merogoh bumi. Dekat ataupun jauh tak lagi bisa ditebak. Ah, mungkin memang sudah semestinya seperti itu, sudah semestinya bila kesepian senantiasa membangkitkan kenangan. Indah. Memabukkan. Bulir-bulir air mengalir dari telaga. Senja berganti malam. Polos dalam ketenangan. Sirnalah semua mimpi. Ingkarlah semua janji. Tinggallah Sunyi. Sendiri. Sepi.

Setelah aku mengira telah mendapatkan apa yang kubutuhkan, kulipat sajadah, kutanggalkan peci, dan aku pergi ke luar kamar. Kuberbaring di hamparan luas. Di langit-langit malam, bulan terlihat purnama. Terang. Indah. Begitu indah. Seketika itu juga dalam hatiku terdetik sebuah asa. Lagi, kulayangkan langkah menuju puncak kenikmatan nyata.

Setapak demi setapak kutelusuri jalur rumah-Nya. Hampir waktunya kuraih. Hati kecil berteriak halus; "Bersediakah kau, bertunai peristiwa yang maha penting, yang begitu langka kau temui sepanjang hidupmu sebelum atau sesudah waktumu?"

Aku sentuh dinginnya air suci. Lagi, kuhamparkan sajadah dan aku terlarut dalam lautan kasih-Nya. Tentram. Aku semakin hanyut. Oh, rasanya aku tak mau kehilangan malam yang penuh keheningan, syahdu yang menyejukkan. Malam ini menyirami jiwaku yang begitu kotor. Damai.

Oh malam, kau selalu saja dapat membiusku hingga terjaga akan penantian keheningan syahdu haru sendu membiru, yang masih beradu padu desahkan nafas. Nafsu, cumbu, merayu, meragu, malu-malu. Pada cadas penuh luka, menistakan jiwa-jiwa suci yang penuh daki membasi.

Bukan kehangatan yang diberikan olehnya, bukan pula kasih tulus yang ditawarkan olehnya. Tetapi kedinginan yang menusuk sumsum tulang, membeku di sudut ruang. Tak satupun yang mengerti. Tak satupun yang memahami. Sembilu yang menyayat hati. Kini semakin kuat. Menorehkan binatang bernama perih dan sakit. Bersama kabut yang menyelimuti malam. Tenggelam dalam dinginnya kepalsuan. Membisu seribu makna. Terbungkus rapi dalam kotak pandora. Tersamar oleh semaraknya cahaya makhluk penghuni langit malam. Terabu-abukan oleh kabut yang menyelimuti kolong buana.

“Ilahi, keindahan malam-Mu tiada pernah terganti. Ketenangan ini, dingin ini, dan apa-apa yang di langit itu membuatku ingin selalu dekat-Mu, izinkan aku bersujud di bumi-Mu, menyerukan pujianku atas ciptaan dan kuasa-Mu. Ilahi, dekaplah aku selalu dalam pelukan-Mu, terjatuh dan gagal itu pasti, tetapi beri aku kekuatan kembali untuk berdiri dan berlari. Ilahi, aku seperti debu yang begitu kecil ketika aku menatap besarnya dunia milik-Mu, kuharap untaian-untaian do`a yang kupanjatkan bisa tersampai kepada-Mu, di antara ribuan bahkan jutaan untaian-untaian do`a dari seluruh manusia di muka bumi, aku hanyalah manusia yang penuh dengan nista dan berlumur dosa, yang hanya mampu bersujud dan meminta pada-Mu. Sesungguhnya hati ini milik-Mu yaa Rabb.” []


Wahid Hasyim, 13 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar