Senin, 23 November 2015

Oh Betapa Ruginya Orang-orang Lalai

Alkisah ada seorang nelayan yang sangat giat bekerja. Setiap hari ia bekerja sebagai nelayan penangkap ikan, yang bilamana ikan-ikan hasil tangkapannya habis ia kembali pergi ke pantai untuk nenangkap ikan lagi.

Suatu hari, ketika sang isteri memotong ikan hasil tangkapan suaminya, ia menemukan sesuatu yang cukup jarang dimiliki masyarakat pada umumnya. Ia menemukan sebuah mutiara indah di dalam perut ikan.

“Maha Suci Allah! Ada mutiara indah di dalam perut ikan? Suamiku! Suamiku! Lihatlah apa yang aku temukan?” Terperangah, suara sang istreri menyeru suaminya.

“Apa?” Tanya singkat sang suami.

“Mutiara!” Jawab isteri singkat.

“Mutiara? Suami pun seraya tak percaya sentak menjawab. “Mutiara di dalam perut ikan? Sungguh kamu memang isteri yang hebat! Kemarikan. Barangkali ini hari keberuntungan kita, hingga boleh kita makan dengan makanan menu yang lain selain ikan.” Tambahnya.

Si nelayan pun mengambil mutiara itu lalu bergegas pergi ke tempat penjual mutiara yang tinggal di rumah sebelah. Pedagang tetanggnya itu melihat dengan seksama dan berkata, “Aku tak mampu membelinya karena mutiara ini terlampau berharga! Seandainya aku jual kedai dan rumah ku masih tidak cukup untuk memenuhi harga mutiara ini. Tapi aku ada saran, pergilah kamu ke salah seorang syeikh saudagar kaya pedagang di kota tetangga barangkali dia mampu untuk membeli mutiara ini darimu.”

Si nelayan pun ini mengambil kembali mutiaranya lalu pergi ke tempat saudagar kaya, pedagang yang lebih besar lagi di kota tetangga. Sesampainya di kota tetangga, nelayan memperlihatkan dan menawarkan mutiaranya. Saudagar kaya memperhatikan, dan berkata, “Demi Allah wahai saudaraku apa yang engkau miliki tak ada tandingan harganya. Tapi aku ada solusi, pergilah ke wali kota, dia mampu untuk membeli mutiara jenis ini.”

Akhirnya pergilah si nelayan ke tempat Walikota berada. Di depan pintu ndalem Walikota, si nelayan kita berdiri membawa hartanya yang begitu berharga itu. Ia berdiri menunggu izin untuk di perkenankan masuk. Ketika berjumpa, Walikota berkata, “Sesungguhnya mutiara indah seperti ini yang aku cari, tetapi aku tak tahu bagaimana menawarkan harganya, sebab mutiara ini terlampau berharga. Namun aku perkenankan engkau masuk ke penyimpanan harta milik pribadiku. Diamlah selama enam jam di ruang penyimpanan hartaku, ambillah apa saja sepuas hatimu dan itulah nilai harga dari mutiaramu ini.”

“Tuanku barangkali dua jam saja itu sudah cukup bagi seorang nelayan seperti ku ini wahai tuan?” Ucap si nelayan.

“Oh tidak! Enam jam penuh untuk kamu ambil semua harta yang ada di dalam ruang penyimpanan harta milikku, ambil apa saja sepuas mu.” Jawab sang Walikota.

Si nelayan pun masuk ke ruang tempat penyimpanan harta Walikota. Di dalamnya nampak bilik yang sangat mewah bukan main besarnya. Bilik itu terbagi tiga bagian. Bilik pertama di penuhi oleh perhiasan permata, emas dan intan. Bilik kedua di penuhi oleh kasur yang empuk, sekali pandang bisa membuat nyenyak dan pulas tidur. Bilik ketiga di penuhi oleh makan-makanan yang lezat.

Si nelayan mulai bergumam dalam hati, “Enam jam? Sungguh masa yang sangat banyak bagi seorang nelayan seperti ku. Apa yang harus aku lakukan dalam masa enam jam ini? Baiklah aku mulai dari makanan dulu yang ada di bilik nomer tiga. Aku akan makan sepuasnya sampai perutku kenyang. Dengan demikian aku menjadi kuat untuk mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya.”

Pergilah si nelayan untuk masuk ke dalam bilik nomer tiga. Dia habiskan masa dua jam untuk makan, makan dan makan sampai puas. Setelah selesai dia mulai bergerak pergi menuju bilik nomer satu. Di tengah langkahnya ia nampak kasur yang sangat empuk di bilik nomer dua. Dia berpikir dan berguman dalam hati, “Sekarang aku sudah makan dan kenyang tak apalah jika aku tidur sejenak hingga boleh memberikan kekuatan bertambah pada ku supaya aku nanti lebih kuat dan mampu mengumpulkan harta emas dan permata yang lebih besar lagi sebanyak-banyak. Ini adalah kesempatan yang tak boleh di tunda-tunda sungguh bodoh jika aku mensia-siakan kesempatan ini.”

Dia melangkah menuju ke Kasur yang sangat empuk, dia terlentang dan tertidur dengan nyenyak dan sangat pulas. Setelah masa berlalu, sang Walikota pun datang dan seraya membangukan si nelayan, “Bangun! Bangun wahai nelayan bodoh! Masa waktu yang telah di tentukan telah berakhir.”

“Hah! Apa?” Nelayan kaget.

“Iya, ayo keluarlah! Waktunya telah habis!” Sengit Walikota.

“Aku mohon tunggu dulu. Aku masih belum mengambil kesempatan yang cukup untuk mengambil harta ini.” Pangkas nelayan.

“Hah! Hah? Enam jam kamu berada dalam ruangan penyimpanan harta ini. Sekarang baru kamu sadar atas kelalaianmu?” Sontak Walikota.

“Kamu ingin mendapat lebih dari emas, intan pernata? Seandainya kau pergunakan untuk sibukkan mengumpulkan semua harta mutiara-mutiara permata ini dan kamu keluar dengan membawa harta sebanyak–banyaknya, kemudian dengan harta yang banyak itu engkau boleh beli makanan yang paling enak dan paling lezat, lalu dengan harta itu engkau boleh membuat kasur yang paling empuk dan paling bagus.” Tambah Walikota.

“Tapi dasar kamu bodoh dan dungu! Jangan pernah berfikir engkau akan memperoleh apa yang kamu inginkan itu. Sekarang, pergila keluar!” Tukas Walikota dengan nada tinggi.

“Duh! Jangan, jangan! Tolonglah, aku memohon kepadamu, berilah aku kesempatan lagi!” Keluh nelayan. “Jangaaaaaaannn!” Teriaknya.

Selesai, tapi ‘ibrah belum selesai. Tahukah engkau mutiara indah yang sangat bernilai itu? Mutiara yang sangat bernilai itu adalah ruh jiwamu. Ruh itu mutiara yang tak ada tanding nilainya. Namun engkau tak menyadari betapa berharganya nilai mutiara itu. Tahukah engkau terhadap bilik penyimpanan harta benda itu? Ruang Bilik penyimpanan emas dan harta itu adalah Dunia. Perhatikan kebanggaan, tamak dan hausnya kita terhadap dunia? Tahukah engkau atas permata, emas dan mutiara yang ada di bilik pertama itu? Itu adalah amal-amal shalih.

Adapun tempat tidur dengan kasur yang nyaman dan empuk itu adalah kelalaian. Sedangkan makanan dan minuman yang lezat lagi nikmat itu adalah syahwat. Sekarang wahai saudaraku nelayan penangkap ikan, sungguh beruntung. seandainya engkau bangun dari lelap tidurmu, tinggalkan tempat tidur kasur yang empuk, kumpulkan perhiasan-perhiasan yang ada di depan mu sebelum waktu yang di berikan kepadamu habis. Dan itu adalah Umur usiamu. Jika tidak maka engkau merugi keluar dari dunia tampa memperolehi apapun.

Tuhan telah berfirman dalam al-Qur’an surah al-Mu’minun ayat 99-100 yang berbunyi:

حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ﴿99﴾ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ ﴿100﴾

Artinya: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah Aku (ke dunia)".  Agar Aku berbuat amal yang saleh terhadap yang Telah Aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.

Sebuah kisah Menarik layak untuk di baca. Semoga kita semua berada dalam kebaikan dan kebahagiaan. Sebab kita ini berada di sebuah zaman di mana kita tidak tahu kapan datangnya kematian dan kembali Paduka Semesta Raya.

Oleh itu marilah kita lipat gandakan amal-amal shalih kita mulai dari sekarang. Shalatlah di waktu malam walau hanya dua Rakaat saja setiap hari. Bacalah dalam dua Rakaat sahalat itu 15 ayat dari al-Qur'an. Bersedekahlah sebab sedekah dapat menolak bencana. Ruh seorang insan yang tak ternilai harganya harus diiringi amal perbuatan baik. Kelalaian pun ada karena tuturan syahwat. Wallahu a’lam. []


Warung Kopi Kopas, 23 November 2013

Ketika Cinta Meneduhkan Jiwa

"Aku ragu ada dan tiadaku, tapi cinta mengumumkan aku ada."
        Sir Muhammad Iqbal

Teringat salah satu tentang sebuah kisah cinta, cinta yang menggetarkan jantung, namun meneduhkan jiwa. Yaitu kisah cinta Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra. Kisah cinta yang luar biasa indah, cinta yang selalu terjaga kerahasiaannya dalam sikap, kata, maupun ekspresi. Hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan.

Ada rahasia terdalam dihati ‘Ali yang tak diceritakannya kepada siapapun. Fatimah, sahabat kecilnya, putri tersayang Sang Nabi. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya hingga parasnya sungguh mengagumkan. Konon, karena saking teramat rahasianya, setan saja tidak tahu urusan cinta diantara keduanya. Sudah lama ‘Ali terpesona dan jatuh hati pada Fatimah.

Lihalah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Fatimah sendiri mencapai puncak keremajaan dan kecantikannya ketika Islam dibawa Nabi Muhammad Saw. sudah maju dan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Fatimah benar-benar telah menjadi anak gadis remaja. Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pemuda terhormat yang menaruh harapan ingin mempersuntingkan puteri Rasulullah itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menangani lamaran itu, Nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwa baginda sedang menanti datangnya petunjuk dari Allah Swt. mengenai puterinya itu.

Diceritakan, ‘Ali Bin Abi Thalib waktu itu ingin melamar Fatimah, putri Nabi Muhammad Saw. tersebut. Tapi karena dia tidak mempunyai uang untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat itu. Ali segera berhijrah untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Tapi, seketika ia tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Laki-laki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan nan bijaksana, dialah Abu Bakar ash-Shiddiq, Radliyallaahu ‘Anhu.

“Allah mengujiku rupanya.” Begitu gumam ‘Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Sedang ‘Ali hanya pemuda miskin yang berasal dari keluarga miskin pula.

“Inilah persaudaraan dan cinta.” Gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Seketika ‘Ali senantiasa menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ia bekerja lebih giat lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar Fatimah.

Namun, ternyata ujian itu belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah lagi yang melamar Fatimah, seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islam membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat setan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Khattab. Ya, al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar.” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Sang Nabi. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy!” Katanya. ”Hari ini putera al-Khattab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang “Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak, dan ‘Ali ridla.

Cinta memiliki makna yang dalam, indah dan agung. Tak ada kata-kata yang mampu melukiskan keindahan dan keagungannya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi. Ternyata lamaran ‘Umar juga ditolak. Tentu saja ‘Ali tertegun dan sedikit bergembira.

Tak lama, kegembiraan itu kembali pudar, karena terdengar kabar lagi, ternyata ‘Utsman bin Affan melamar Fatimah. Seorang miliarder yang berjuang di jalan Allah tidak hanya secara jiwa dan raganya, tetapi juga harta bendanya. Sosok manusia yang menorehkan gambaran pribadi yang lembut, lapang dada, simpatik, gemar menyambung silaturahmi, sangat pemalu dan tidak suka kekerasan. Perangainya yang halus inilah yang membuatnya istimewa dibanding manusia lain. Gelaran Dzun Nuraini tertera pula atas kepercayaan Nabi untuk menikahkannya dengan kedua putrinya, kedua buah cahaya. Sedangkan ‘Ali? Sekali lagi, ‘Ali hanyalah pemuda miskin dari keluarga miskin, ia hanya memiliki sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta. Untuk kesekian kalinya, ‘Ali ridla. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian, atau mempersilakan, dan yang ini adalah pengorbanan.

Tak lama kemudian, lagi-lagi seolah gayung bersambut. ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Utsman pun ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Abul ‘Ash ibn Rabi’, kah? Saudagar Quraisy itu? Suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka, atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” Seketika kalimat teman-teman Anshar ‘Ali membangunkannya dari lamunan tak bertuan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

“Aku?” Tanya ‘Ali tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!” Jawab teman-temannya.

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” Sanggah ‘Ali.

”Kami di belakangmu, semoga Allah menolongmu!” Pungkas teman-temannya.

Akhirnya, ‘Ali memberanikan diri menghadap Sang Nabi. Lalu ia menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi Fathimah. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Wahai ‘Ali, engkau pemuda sejati!” Begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

‘Ali menalamar, dan Rasul pun menjawab lamarannya dengan kalimat, ”Ahlan wa sahlan!” Kata yang meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. ‘Ali pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” Tanya teman-temannya.

“Entahlah.” Jawab ‘Ali singkat.

“Apa maksudmu?” Teman-temannya mengejar jawaban.

“Menurut kalian apakah Ahlan wa Sahlan berarti sebuah jawaban?” Tanya ‘Ali.

“Dasar bodoh! Bodoh!” Jawab teman-temannya. “Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup, dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!” Jelas teman-temannya.

Syahdan, ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Di lain sisi, tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.”

‘Ali terkejut, kemudian memborong pertanyaan, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.” []

Warung Kopi Kopas, 23 November 2013

Senin, 02 November 2015

Cerita di Awal November 2015


“Menangislah, lalu Bangkitlah.”
– Akagami no Shanks, tokoh fiktif

Malam ini jadwal dirasah Ma’had ‘Ali Wahid Hasyim Semester 1 adalah Tarikh Tasyri` (sejarah awal pembentukan hukum Islam). Hingga pertemuan ke-5, aku masih belum punya kitab pedoman dirasah tersebut, meskipun sudah berkali-kali pengampu dirasah menganjurkan setengah mewajibkan atau bisa disebut dengan istilah sunnah muakkad untuk mememilikinya (terserah dengan cara apa saja, entah itu pinjam, beli, nebeng atau sejenisnya). Akhirnya aku mangkat dengan modal nekat karena belum dapat memlikinya untuk pertemuan kali ini.

Sesampai ruang pertemuan, entah pantas disebut diskriminasi atau sebuah kewajiban, para bidadari-bidadari putri yang cantik-cantik, yang pintar-pintar, yang cerdas-cerdas, yang sedari awal pertemuan memiliki kitab Tarikh Tasyri` hanya diminta membaca kitab kuning yang gundul tersebut per-kalimat, sedang diriku yang bila dilihat dari tampilan tergolong lusuh dan sedari awal pertemuan sama sekali tak pernah bersentuhan dengan kitab tersebut diminta untuk membaca per-paragraf. Hasilnya pun jelas, aku terlihat amat pekok dengan segudang malu yang tampak di raut wajahku.

Ini menandakan bahwa selama ini aku hanya bisa tidur dan tak mau diatur. Pertanda bahwa belajarku kurang mempeng, waktuku terbuang sia-sia, hidupku terus berlalu tanpa mengenal sarat makna. Seketika itu juga aku ingin meniru jurus Hell Memmories-nya Sanji si Kaki Hitam (tokoh fiktif dalam anime One Piece), agar kenangan-kenangan buruk yang ada di benakku ikut terbakar bersama kaki membara yang menempel di tubuh-tubuh lawan yang ada di depan mata.

Tuhan tak pernah memberikan suatu keadaan tanpa tujuan, tanpa kebijaksanaan dan pelajaran. Dari pengalaman baik ataupun buruk, akan selalu ada pelajaran berharga. Ketika seseorang berhasil mengambil pelajaran tersebut, maka dia akan menjadi lebih bijak. Kalau dia laki-laki maka akan menjadi laki-laki sejati, dan kalau dia perempuan akan jadi perempuan yang kuat atau bahasa kerennya wonder woman.

Pertemuan ini menjadi ajang koreksi diri bagiku. Aku pun tersadar bahwa di setiap harinya, di setiap waktunya, di setiap detiknya, di setiap helaan nafas panjang atau pendeknya, makhluk bernama manusia senantiasa menghadapi pelbagai persoalan hidup yang tiada habisnya. Terkadang manusia merasakan kebahagiaan dengan apa yang diperolehnya, tetapi tidak jarang terdapat kesedihan dan kekecewaan dari apa yang mereka alami karena tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Terkadang berada di atas, terkadang berada di bawah. Terkadang kehidupan terasa menyenangkan, terkadang kehidupan terasa membawa beban dan permasalahan berat yang harus diselesaikan. Terkadang manusia hanya bisa pasrah saat kenyataan berbeda dengan harapan, saat keyakinan hilang dalam kepahitan. Semua datang silih berganti, seiring pergantian matahari pada siang dan bulan pada malam yang setia menemani.

Begitulah pergantian peristiwa yang terus terjadi dalam kehidupan manusia. Hidup membawa manusia pada pelbagai persoalan yang silih berganti, dan itu akan selalu terjadi sepanjang hidup manusia. Karena itulah, cara manusia menyikapi setiap peristiwa sangat menentukan bagaimana hasil dan perasaan terhadapnya. Karena pada dasarnya, peristiwa yang terjadi di sekeliling manusia bersifat netral. Manusialah yang memaknai peristiwa itu dalam lubuk hati mereka.

Saat sesuatu terjadi, seseorang bisa merasakannya sebagai kesedihan, kegembiraan, ketakutan, atau perasaan lainnya, semua tergantung bagaimana cara merasakannya. Seseorang merasa sedih, senang, gembira dan lain sebagainya bukan karena faktor di luar kehidupannya, tetapi itu semua timbul dari dalam dirinya sendiri. Sangat tergantung pada bagaimana cara memandang berbagai peristiwa tersebut.

Aku pun memaknai pertemuan malam ini sebagai pengingat bagi kelalaianku akan waktu. Namun aku menolak untuk menerimanya secara berlebihan, melainkan dengan santai. Karena santai itu adalah ketika seseorang merasa tidak bermasalah dengan apa pun dalam sebuah lingkaran bernama kehidupan, walau sebenarnya manusia tidak akan pernah lepas dari masalah, tidak akan pernah bisa keluar dari lingkaran kehidupan.

Setiap manusia tentu punya batas usia, dan kita tidak akan pernah tahu kapan batas usia kita. Sebagaimana yang pernah kurasakan, dua teman baik di kelasku sudah tiada, karena memang kita akan kembali kepada ketiadaan. Namun, jangan pernah berpaling! Berpaling hanya akan membuat luka lama bersemi kembali. Bukan hanya cinta yang dapat bersemi kembali, luka pun demikian. Tapi jangan pula dilupakan, jadikan itu sebagai acuan untuk ke depan.

Di akhir pertemuan, pengampu memintaku untuk tetap hadir di pertemuan yang akan datang, atau memintaku untuk tidak kapok saat dirasah-nya. “Baca lebih banyak tak apa ya Mas, namanya juga latihan. Biar tambah lancar, walaupun bacaan kamu tadi sudah lancar.”

Lho, gimana to? []

Wahid Hasyim, 02 November 2015