Tepat satu tahun yang lalu, aku pergi melanglang buana. Mulai dari
Temanggung, Surabaya, Kendal, Demak, Kudus, dan kembali ke ranah utama
rantauanku, Yogyakarta. Selama perjalanan itu, kutemui banyak fenomena dan
semakin menyadarkanku bahwa dunia ini begitu luas. Begitu banyak hal yang belum
kita tahu, begitu banyak hal yang belum kita mengerti, dan begitu banyak
hal-hal yang janggal dalam kehidupan ini.
Aku tak sendiri. Aku bersama beberapa kawanku. Tujuan utama kami
melanglang buana adalah untuk berziarah ke makam sahabat karibku dan tentu saja
para `ulama. Tak perlu repot-repot bertanya, “Dalilnya apa?” Namun kalau pun ada
yang bertanya seperti itu, dengan senang hati aku akan menjawabnya. Logikanya
begini, jika untuk menghormati dirimu, atau untuk merayakan hari kelahiranmu
kau tak butuh dalil, masa sih untuk mengenang sahabat karibmu dan jasa-jasa
para `ulama yang merupakan pewaris Nabi, atau untuk menghormati dan merayakan
hari kelahiran Pemimpin agungmu yakni Kanjeng Nabi itu sendiri, kau dengan gaya
orang yang `alim menanyakan hadis sahihnya? Pantaskah seperti itu? Cukup simpan
dalam hati jawabanmu itu.
Setiba aku dan kawanku-kawanku di tempat tujuan, dikarenakan lelah,
kami butuh tempat beristirahat. Namun dikarenakan kami sampai di waktu subuh
buta, yang sepengamatanku dan kawan-kawanku terhadap keadaan dan tempat-tempat
di sekitar terminal tak ada penginapan, dan dikarenakan tak ada transport
seperti ojek ataupun taksi, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke masjid dekat
terminal. Buka. Aku dan kawan-kawanku bersyukur, dan mengucapkan
“Alhamdulillah” secara bersamaan. Ya, seperti itulah, Rumah Tuhan akan selalu
terbuka bagi para hambanya yang mencari tempat teduh, rehat, dan ketenangan.
Di sepanjang jalan pengembaraan itu, ketika kami berada di dalam
bus, terdengar suara gitar dan gendangan dari pengamen-pengamen yang mengamen
di dalam bus. Pengamen-pengamen itu menyanyikan empat lagu dari empat band yang
berbeda.
“Kau dengar itu, kawan?” Temanku bertanya.
“Iya, aku dengar kok.” Aku menjawab.
“Menurutku, para pengamen yang menyanyikan keempat lagu dari empat
band yang berbeda itu lebih baik dibanding penyanyi aslinya. Suaranya khas!”
Ungkap temanku dengan antusias.
Aku mengiyakan. Mau tak mau kita memang harus mengakui satu hal
bahwa para pengamen jalanan pun punya semangat, bakat dan suara yang tak kalah
dibanding artis-artis ternama yang dadak nyanyi dan rekamannya laku keras. Tapi
sayang, di negeri ini menganggap musik tentang melihat, bukan mendengar.
Barangkali fenomena tersebut pula yang menjadikanku dan
kawan-kawanku terpukau dengan para pengamen jalanan, dan tak begitu menyukai
musik-musik di negeri ini saat ini. Para musisi saat ini hanya terkenal
sebentar, setelah itu tak ada lagi kabarnya alias pergi entah ke mana. Berbeda
dengan musisi-musisi beberapa windu lalu, mereka merintis dari awal, dari
pengamen jalanan, ke sana ke mari mengamen demi bertahan hidup. Lirik lagunya puitis, epic! Menyentuh
hati, menggetarkan jiwa.
Aku sendiri lebih menyukai para musisi outsiders yang beraliran dream
teater dan softrock. Aku menyukainya karena bagiku ada hal-hal menarik yang
termuat di dalamnya, yakni tidak
cengeng dan alunan musiknya yang menghibur dengan pelbagai selebrasi. Seperti
Metallica dengan Nothing Else Matters-nya, dan Guns N` Roses dengan Don`t
Cry-nya.
Nothing Else Matters seolah ingin mengatakan bahwa apapun
yang terjadi, jikalau itu memang berasal dari sanubari, maka perjuangkanlah dan
jangan pernah berhenti. Tak usah kau tangisi hari kemarin, tak usah kau
pedulikan omongan orang lain. Sedang Don`t Cry seolah ingin mengatakan bahwa
tatkala seseorang bermimpi buruk, atau dalam alur kehidupannya sedang berada
dalam kondisi yang terpuruk, maka tak usah gundah, tak perlu resah, apalagi
berkeluh-kesah. Karena di luar sana masih ada sosok yang peduli terhadap kita,
bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan kita bercerita, dan
dengan suka-cita mencoba untuk meringankan beban kita. Jika memang seperti itu
yang diinginkan Metallica dan Guns N` Roses, maka tak heran bila kedua band
tersebut disebut sebagai legendary band atau best band of all time. Lirik
lagunya tak usang ditelan waktu.
Aku juga menyukai aliran musik blues, Jimi Hendrix. Menikmati
kesedihan, adalah cara para kaum marjinal utk merayakan hidup. Analoginya
seperti ini, jika lebah yang menyengat dapat pula menghasilkan madu, dan pil
pahit juga sejatinya untuk obat, maka tak ada salahnya menafsiri keterpurukan,
kesedihan, dalam bingkai keindahan.
Nah, bagaimana dengan musik di negeri ini saat ini? Sebut saja
seperti Iwan Falls, Ebiet G. Ade, Rhoma Irama, ataupun musisi dan penyanyi solo
tahun 60-an seperti Ratih Purwasih, lirik lagu-lagunya sarat makna, dan kau
perlu tahu bahwa mereka terkenal bukan dengan cara yang mudah, mereka berjuang
dari akar rumput, berangkat dari titik nol. Namun, bila kau tak mengenal
mereka, tak mengetahui apalagi merenungi lirik lagu-lagu mereka, bisa
dipastikan bahwa kau adalah generasi boy band.
Klasik memang selalu asyik. Tapi entahlah. []
Wahid Hasyim, 21 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar