Selasa, 29 Desember 2015

Musik Negeri Ini

Tepat satu tahun yang lalu, aku pergi melanglang buana. Mulai dari Temanggung, Surabaya, Kendal, Demak, Kudus, dan kembali ke ranah utama rantauanku, Yogyakarta. Selama perjalanan itu, kutemui banyak fenomena dan semakin menyadarkanku bahwa dunia ini begitu luas. Begitu banyak hal yang belum kita tahu, begitu banyak hal yang belum kita mengerti, dan begitu banyak hal-hal yang janggal dalam kehidupan ini.

Aku tak sendiri. Aku bersama beberapa kawanku. Tujuan utama kami melanglang buana adalah untuk berziarah ke makam sahabat karibku dan tentu saja para `ulama. Tak perlu repot-repot bertanya, “Dalilnya apa?” Namun kalau pun ada yang bertanya seperti itu, dengan senang hati aku akan menjawabnya. Logikanya begini, jika untuk menghormati dirimu, atau untuk merayakan hari kelahiranmu kau tak butuh dalil, masa sih untuk mengenang sahabat karibmu dan jasa-jasa para `ulama yang merupakan pewaris Nabi, atau untuk menghormati dan merayakan hari kelahiran Pemimpin agungmu yakni Kanjeng Nabi itu sendiri, kau dengan gaya orang yang `alim menanyakan hadis sahihnya? Pantaskah seperti itu? Cukup simpan dalam hati jawabanmu itu.

Setiba aku dan kawanku-kawanku di tempat tujuan, dikarenakan lelah, kami butuh tempat beristirahat. Namun dikarenakan kami sampai di waktu subuh buta, yang sepengamatanku dan kawan-kawanku terhadap keadaan dan tempat-tempat di sekitar terminal tak ada penginapan, dan dikarenakan tak ada transport seperti ojek ataupun taksi, akhirnya kami putuskan untuk pergi ke masjid dekat terminal. Buka. Aku dan kawan-kawanku bersyukur, dan mengucapkan “Alhamdulillah” secara bersamaan. Ya, seperti itulah, Rumah Tuhan akan selalu terbuka bagi para hambanya yang mencari tempat teduh, rehat, dan ketenangan.

Di sepanjang jalan pengembaraan itu, ketika kami berada di dalam bus, terdengar suara gitar dan gendangan dari pengamen-pengamen yang mengamen di dalam bus. Pengamen-pengamen itu menyanyikan empat lagu dari empat band yang berbeda.

“Kau dengar itu, kawan?” Temanku bertanya.

“Iya, aku dengar kok.” Aku menjawab.

“Menurutku, para pengamen yang menyanyikan keempat lagu dari empat band yang berbeda itu lebih baik dibanding penyanyi aslinya. Suaranya khas!” Ungkap temanku dengan antusias.

Aku mengiyakan. Mau tak mau kita memang harus mengakui satu hal bahwa para pengamen jalanan pun punya semangat, bakat dan suara yang tak kalah dibanding artis-artis ternama yang dadak nyanyi dan rekamannya laku keras. Tapi sayang, di negeri ini menganggap musik tentang melihat, bukan mendengar.

Barangkali fenomena tersebut pula yang menjadikanku dan kawan-kawanku terpukau dengan para pengamen jalanan, dan tak begitu menyukai musik-musik di negeri ini saat ini. Para musisi saat ini hanya terkenal sebentar, setelah itu tak ada lagi kabarnya alias pergi entah ke mana. Berbeda dengan musisi-musisi beberapa windu lalu, mereka merintis dari awal, dari pengamen jalanan, ke sana ke mari mengamen demi bertahan  hidup. Lirik lagunya puitis, epic! Menyentuh hati, menggetarkan jiwa.

Aku sendiri lebih menyukai para musisi outsiders yang beraliran dream teater dan softrock. Aku menyukainya karena bagiku ada hal-hal menarik yang termuat di dalamnya, yakni tidak cengeng dan alunan musiknya yang menghibur dengan pelbagai selebrasi. Seperti Metallica dengan Nothing Else Matters-nya, dan Guns N` Roses dengan Don`t Cry-nya.

Nothing Else Matters seolah ingin mengatakan bahwa apapun yang terjadi, jikalau itu memang berasal dari sanubari, maka perjuangkanlah dan jangan pernah berhenti. Tak usah kau tangisi hari kemarin, tak usah kau pedulikan omongan orang lain. Sedang Don`t Cry seolah ingin mengatakan bahwa tatkala seseorang bermimpi buruk, atau dalam alur kehidupannya sedang berada dalam kondisi yang terpuruk, maka tak usah gundah, tak perlu resah, apalagi berkeluh-kesah. Karena di luar sana masih ada sosok yang peduli terhadap kita, bersedia meluangkan waktunya untuk sekedar mendengarkan kita bercerita, dan dengan suka-cita mencoba untuk meringankan beban kita. Jika memang seperti itu yang diinginkan Metallica dan Guns N` Roses, maka tak heran bila kedua band tersebut disebut sebagai legendary band atau best band of all time. Lirik lagunya tak usang ditelan waktu.

Aku juga menyukai aliran musik blues, Jimi Hendrix. Menikmati kesedihan, adalah cara para kaum marjinal utk merayakan hidup. Analoginya seperti ini, jika lebah yang menyengat dapat pula menghasilkan madu, dan pil pahit juga sejatinya untuk obat, maka tak ada salahnya menafsiri keterpurukan, kesedihan, dalam bingkai keindahan.

Nah, bagaimana dengan musik di negeri ini saat ini? Sebut saja seperti Iwan Falls, Ebiet G. Ade, Rhoma Irama, ataupun musisi dan penyanyi solo tahun 60-an seperti Ratih Purwasih, lirik lagu-lagunya sarat makna, dan kau perlu tahu bahwa mereka terkenal bukan dengan cara yang mudah, mereka berjuang dari akar rumput, berangkat dari titik nol. Namun, bila kau tak mengenal mereka, tak mengetahui apalagi merenungi lirik lagu-lagu mereka, bisa dipastikan bahwa kau adalah generasi boy band.

Klasik memang selalu asyik. Tapi entahlah. []

Wahid Hasyim, 21 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar