Rabu, 04 Januari 2017

Daun Jatuh

Suatu kenikmatan tersendiri memang, duduk santai disanding kopi dengan bacaan buku-buku seksi, aroma kopi yang menggoda dan kandungan buku pelbagai ilmu yang ada. Atau sekedar duduk di trotoar jalanan yang dikelilingi pohon-pohon besar sembari menghirup udara segar, melihat keadaan sekitar, dan memperhatikan daun yang jatuh ke dasar. Menikmati masa seperti ini adalah hal ter-romantis yang dapat dilakukan.

Bagaimana tidak? Kita dapat menikmati udara segar yang keluar dari pohon besar. Kita juga dapat melihat sisi kehidupan lain dari keadaan sekitar––untuk tidak mengatakan melihat sisi kehidupan orang trotoar (jalanan). Merekalah pedagang kaki lima, penjual favorit, aktivis ekonomi akar rumput, aktor-aktor ekonomi yang sekedar bertahan dari tiupan badai kehidupan. Mereka jarang dilihat oleh para politikus yang hanya sibuk berkelahi untuk kepentingan duniawi.

Di samping itu, kita juga dapat mengambil hikmah dari daun yang jatuh ke dasar (tanah).Daun-daun berguguran dari ranting pohon. Ia terbawa angin, melayang terlebih dahulu sebelum jatuh ke tanah. Dari ranting daun-daun yang gugur tersebut, akan tumbuh daun-daun yang baru, menggantikan daun-daun yang telah gugur, meramaikan rindang pohon yang semakin berumur dan menjadikan pohon terlihat subur.

Begitulah cara pohon besar mempertahankan eksistensinya, ia melakukan regenerasi daun untuk tetap hidup di tengah kota yang penuh dengan polusi, penuh dengan ego diri, dan penuh dengan kesombongan pribadi. Pohon besar pun tak peduli jika manusia yang begitu serakah nantinya juga akan menumbangkannya.

Justru, hal yang dipedulikan pohon besar adalah bagaimana caranya agar ia dapat menjadi pohon yang berguna bagi manusia itu sendiri. Pohon besar memberi kitaketeduhan di bawah rindang daunnya, memberi kita buah-buahan dan sayur-mayur yang dihasilkannya tanpa pernah berharap jika manusia dapat berbalas budi kepadanya.

Ketika musim kemarau tiba, rerumputan kering dan musnah, daun-daun berbondong-bondong jatuh bergantian bersama hilir angin semilir, dan pohon besar pun seolah sekarat, namun tidaklah mati. Ia tetap hidup, tetap berkembang, tetap bernafas. Dan ketika tiba saatnya hujan turun, musim kemarau berganti musim hujan. Rerumputan menghijaukan bumi, daun-daun kembali tumbuh lebat, dan buah-buahan muncul sebagai jamuan lezat.

Begitu juga kehidupan manusia, adakalanya. Adakalanya seperti musim kemarau yang kering-kerontang, dan adakalanya seperti musim hujan yang subur menyenangkan. Adakalanya berlari melesat bagai anak panah, dan adakalanya diam tak bergerak, pasrah. Adakalanya tertawa bahagia yang pecah berserakan ke segala arah, dan ada kalanya tak ceria karena murung dirundung pilu yang parah. Adakalanya ada waktu untuk duduk berbagi cerita nana-nina, dan adakalanya tak ada waktu yang pergi hilang entah ke mana. Hidup memang adakalanya, tak pernah selalu melulu dengan satu hal itu.

Hal yang perlu dilakukan manusia hanyalah terus berusaha dan tetap tabah dalam perputaran roda kehidupan. Hingga tunas-tunas baru pun muncul bertumbuhan, bunga-bunga bermekaran dengan keindahan dan keharuman yang tidak kalah dengan musim-musim sebelumnya.