Minggu, 20 Desember 2015

Selamat Pagi

Matahari perlahan terbit, pancaran kehangatan sinarnya mulai menyapa. Kelembapan udara, sisa-sisa embun di dedaunan, di pepohonan lekas mengering. Awan-awan membiarkanku menarik matahari, mengajaknya bercengkrama dengan waktu yang cukup lama, membawa kehangatannya masuk ke dalam relung sukma. Sang mentari pun tak lupa tersenyum pagi ini. Senyum yang sama setiap hari. Senyuman manis beserta kehangatannya. Senyuman pembawa pelangi. Senyum yang selalu dapat kupinjam. Senyum tanpa paksaan. Senyum yang membuat para pejuang tetap hidup. Berlari-lari, menari-nari, hingga tertawa bersama sepanjang hari. Dengan sagup payup aku berdiri, dan terhuyung.

“Sepertinya aku darah rendah.” Ucapku dengan nada lemas.

“Coba periksa darah, Mas!” Adik tingkatku mencoba memberi saran.

“Mungkin juga kurang motivasi cinta.” Aku menolak saran, mencoba bercanda.

“Haha... Bisaan aja Mas.” Adik tingkatku tertawa.

Ini adalah pagi yang indah, pagi yang istimewa. Ketika aku terbangun dari kealpaanku untuk kembali terjaga, dengan canda tawa sederhana.  Gegas kamar mandi kutuju, membasuh muka dengan air yang menetes dingin, menggerak-gerakkan badan, berjalan sekedarnya, menyalakan rokok (lalu kuhisap dalam), menggerang air, memasak mie instant, dan menyeduh kopi.

Tak tahukah kau? Semacam ini yang kusuka, bahwa aku tetap dapat menjadi diriku sendiri di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan kebohongan dan penuh dengan kesandiwaraan ini. Banyak orang di luar sana yang berpura-pura baik, demi mengincar kekuasaan tertinggi. Banyak orang di luar sana yang berpura-pura peduli, demi mengincar kehormatan dalam negeri. Banyak orang di luar sana yang saling berdebat, saling menunjukkan kelebihan-kelebihan diri yang tanpa sadar juga menunjukkan ego dan kesombongan pribadi. Ah, kesemua itu barangkali memang sudah menjadi tabiat manusia.

Bagaimana tidak? Setelah dipilih, dihujat. Setelah dihujat, dipilih lagi. Kapan mau belajar? Apakah pantas seseorang dipagut kalajengking dari satu lobang sampai dua kali? Terlalu banyak yang pandai berbicara tentang hidup berbangsa dan bernegara yang baik, tetapi lupa bagaimana caranya hidup bertetangga dan bermasyarakat yang baik. Terlalu banyak yang ingin beranjak dari kemiskinan tetapi senantiasa membawa rasa malas. Terlalu banyak yang ingin hidup damai tanpa adanya permusuhan, tetapi senantiasa membawa sifat iri. Terlalu banyak yang membicarakan kopi, tetapi lupa cara menikmatinya.

Pemimpin dipilih sendiri, kecewa sendiri dan marah-marah sendiri. Wakil Dewan juga dipilih sendiri, diolok-olok sendiri, dicibir sendiri dan dimaki sendiri. Barangkali memang sudah nasibnya menjadi bangsa kelas nomor tiga. Dihuni orang-orang yang tak mau belajar tapi semangat dan tak kunjung belajar pula. Benarlah kata orang bijak; “Pemimpin yang dipilih oleh rakyat adalah cerminan dari rakyat itu sendiri.”

Hanya dengan uang puluhan ribu, idealisme dan nurani bisa terbeli. Dengan iming-imingan duniawi sudah tergadai harga diri. Belajar dari pengalaman itu penting! Hanya keledai yang masuk lubang kedua kali. Tetapi tak mungkin begitu banyak orang di luar sana keledai semua. Benar juga kata orang bijak; “Kalau orang baik diam, yang menang dan berkuasa adalah orang-orang jahat dan tidak baik.”

Biarkan saja apa itu MKD, apa itu Freeport, apa itu korupsi. Biarkan saja semua tambang dan tetek bengeknya dicaplok, biar puas. Para koruptor silakan korupsi sepuasnya. Bumi pertiwi tak kan habis menyediakan segala hal berupa moril dan materil bagi para penghuninya. Tak percaya? Coba tengok sejarah, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang ratusan tahun menguras kekayaan negeri, yang sampai sekarang juga belum habis. Orde lama, orde baru, hingga orde yang paling baru juga ikut mengeruk pun tidak akan pernah habis.

Kiamat masih jauh. Biarkan saja semua. Biarkan saja para koruptor yang masih bisa makan tiga kali, bangun tidur masih sempat juga bikin kopi, kebal-kebul menikmati pagi. Di setiap malamnya pun masih bisa terjaga dengan tenang.

Bagaimana dengan keadilan? Heleh... Keadilan itu hanya khayalan dan mimpi belaka. Bila tak tercapai ya sudahlah, namanya juga cita-cita. Kalau mau keadilan yang sebenar-benarnya keadilan ya nanti, sabarlah. Masih ada akhirat. Lalu bagaimana dengan kesejahteraan? Kalau mau kesejahteraan ya cari saja kesejahteraan sendiri-sendiri, kesejahteraan masing-masing. Jangan manja seperti bayi kecil yang baru lahir. Sejahtera itu relatif, di negeri ini sejahtera dalam takaran terminimal adalah masih bisa ketawa-ketiwi, bersenda-gurau, setidaknya sama sependeritaan. Tak perlu bingung.

Sejarah akan mencatat siapa yang benar dan siapa yang salah, walau salah dan benar itu hakikatnya tidak ada. Semua hanya berperan dalam peranya masing-masing, netepi lelaku. Biar-biarkan saja. Begitulah peran, macam-macam, beraneka ragam.

Mungkin juga bila kita harus kembali ke ajaran nenek moyang kita, harus berhenti mengeluh dan mengkritik, alias kita harus memilih berjuang, berjuang dan terus berjuang sampai dengan hembusan nafas terakhir kita. Jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah!

Berjuang yang sepeti apa? Setiap orang punya perjuangannya masing-masing. Porsinya pun berbeda-beda. Standar paling minimal adalah berjuang memberantas kebodohan, ego diri dan kesombongan pribadi, alias menata hati hingga tertata sedemikian rapi.

Terlepas dari itu semua, setidaknya bahagiaku sederhana. Setidaknya aku tak perlu menjadi detektif kurang kerjaan, yang tanpa dibayar senantiasa menelusuri kesalahan-kesalahan orang lain. Setidaknya aku tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang menyusahkan diri sendiri, yang meletakkan kebahagiaannya di tangan orang lain. Setidaknya aku tidak menjadi orang yang sebodoh itu! Tak perlu berlagak menjadi "talisman" (orang yang mengatur), jikalau kau tak serius, atau sekedar bermain-main. Karena itu dapat menjadikan kau orang yang lalai tapi sadar, atau menjadikan orang lain yang berusaha jatuh bangun di akar rumput menjadi orang yang sama denganmu, menjadi orang yang sebegitu menyedihkannya dirimu.

Akankah datang suatu hari di mana semua orang sadar bahwa mereka memiliki kapal yang sama untuk sampai di dermaga? Bukan hanya sebagai penumpang yang ingin menikmati fasilitasnya saja, dan bisa berkata bahwa ia pernah naik kapal itu. Akankah akan tiba suatu masa di mana semua orang sadar bahwa nahkoda bukan hanya orang yang selalu melulu memerintah, tetapi juga berkenan mendengar pelbagai keluh kesah penghuni kapal airnya? Semoga hari esok lahir pemimpin-pemimpin yang tidak hanya bisa memerintah, tetapi juga turut ikut serta dalam suatu titah.

Selamat pagi selamat pagi dunia, selamat pagi semua, selamat pagi para saudara, selamat pagi Sumatera, selamat pagi Papua, selamat pagi Jawa, selamat pagi Kalimantan, selamat pagi Sulawesi, selamat pagi Bali dan wilayah tengah, selamat pagi Nusantara, selamat pagi para pejuang, selamat pagi cinta, dan selamat pagi para pemimpi! []


Warung Kopi Mato, 06 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar