Matahari perlahan terbit, pancaran kehangatan sinarnya mulai
menyapa. Kelembapan udara, sisa-sisa embun di dedaunan, di pepohonan lekas
mengering. Awan-awan membiarkanku menarik matahari, mengajaknya bercengkrama dengan
waktu yang cukup lama, membawa kehangatannya masuk ke dalam relung sukma. Sang
mentari pun tak lupa tersenyum pagi ini. Senyum yang sama setiap hari. Senyuman
manis beserta kehangatannya. Senyuman pembawa pelangi. Senyum yang selalu dapat
kupinjam. Senyum tanpa paksaan. Senyum yang membuat para pejuang tetap hidup. Berlari-lari,
menari-nari, hingga tertawa bersama sepanjang hari. Dengan sagup payup aku
berdiri, dan terhuyung.
“Sepertinya aku darah rendah.” Ucapku
dengan nada lemas.
“Coba periksa darah, Mas!” Adik
tingkatku mencoba memberi saran.
“Mungkin juga kurang motivasi
cinta.” Aku menolak saran, mencoba bercanda.
“Haha... Bisaan aja Mas.” Adik
tingkatku tertawa.
Ini adalah pagi yang indah, pagi yang istimewa. Ketika aku
terbangun dari kealpaanku untuk kembali terjaga, dengan canda tawa sederhana. Gegas kamar mandi kutuju, membasuh muka dengan
air yang menetes dingin, menggerak-gerakkan badan, berjalan sekedarnya,
menyalakan rokok (lalu kuhisap dalam), menggerang air, memasak mie instant, dan
menyeduh kopi.
Tak tahukah kau? Semacam ini yang kusuka, bahwa aku tetap dapat
menjadi diriku sendiri di tengah-tengah kehidupan yang penuh dengan kebohongan
dan penuh dengan kesandiwaraan ini. Banyak orang di luar sana yang berpura-pura
baik, demi mengincar kekuasaan tertinggi. Banyak orang di luar sana yang
berpura-pura peduli, demi mengincar kehormatan dalam negeri. Banyak orang di
luar sana yang saling berdebat, saling menunjukkan kelebihan-kelebihan diri
yang tanpa sadar juga menunjukkan ego dan kesombongan pribadi. Ah, kesemua itu
barangkali memang sudah menjadi tabiat manusia.
Bagaimana tidak? Setelah dipilih, dihujat. Setelah dihujat, dipilih
lagi. Kapan mau belajar? Apakah pantas seseorang dipagut kalajengking dari satu
lobang sampai dua kali? Terlalu banyak yang pandai berbicara tentang hidup
berbangsa dan bernegara yang baik, tetapi lupa bagaimana caranya hidup
bertetangga dan bermasyarakat yang baik. Terlalu banyak yang ingin beranjak
dari kemiskinan tetapi senantiasa membawa rasa malas. Terlalu banyak yang ingin
hidup damai tanpa adanya permusuhan, tetapi senantiasa membawa sifat iri.
Terlalu banyak yang membicarakan kopi, tetapi lupa cara menikmatinya.
Pemimpin dipilih sendiri, kecewa sendiri dan marah-marah sendiri.
Wakil Dewan juga dipilih sendiri, diolok-olok sendiri, dicibir sendiri dan
dimaki sendiri. Barangkali memang sudah nasibnya menjadi bangsa kelas nomor
tiga. Dihuni orang-orang yang tak mau belajar tapi semangat dan tak kunjung
belajar pula. Benarlah kata orang bijak; “Pemimpin yang dipilih oleh rakyat
adalah cerminan dari rakyat itu sendiri.”
Hanya dengan uang puluhan ribu, idealisme dan nurani bisa terbeli.
Dengan iming-imingan duniawi sudah tergadai harga diri. Belajar dari pengalaman
itu penting! Hanya keledai yang masuk lubang kedua kali. Tetapi tak mungkin
begitu banyak orang di luar sana keledai semua. Benar juga kata orang bijak; “Kalau
orang baik diam, yang menang dan berkuasa adalah orang-orang jahat dan tidak
baik.”
Biarkan saja apa itu MKD, apa itu Freeport, apa itu korupsi. Biarkan
saja semua tambang dan tetek bengeknya dicaplok, biar puas. Para koruptor
silakan korupsi sepuasnya. Bumi pertiwi tak kan habis menyediakan segala hal
berupa moril dan materil bagi para penghuninya. Tak percaya? Coba tengok
sejarah, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang ratusan tahun menguras kekayaan
negeri, yang sampai sekarang juga belum habis. Orde lama, orde baru, hingga
orde yang paling baru juga ikut mengeruk pun tidak akan pernah habis.
Kiamat masih jauh. Biarkan saja semua. Biarkan saja para koruptor yang
masih bisa makan tiga kali, bangun tidur masih sempat juga bikin kopi, kebal-kebul
menikmati pagi. Di setiap malamnya pun masih bisa terjaga dengan tenang.
Bagaimana dengan keadilan? Heleh... Keadilan itu hanya khayalan dan
mimpi belaka. Bila tak tercapai ya sudahlah, namanya juga cita-cita. Kalau mau
keadilan yang sebenar-benarnya keadilan ya nanti, sabarlah. Masih ada akhirat. Lalu
bagaimana dengan kesejahteraan? Kalau mau kesejahteraan ya cari saja
kesejahteraan sendiri-sendiri, kesejahteraan masing-masing. Jangan manja seperti
bayi kecil yang baru lahir. Sejahtera itu relatif, di negeri ini sejahtera dalam
takaran terminimal adalah masih bisa ketawa-ketiwi, bersenda-gurau, setidaknya sama
sependeritaan. Tak perlu bingung.
Sejarah akan mencatat siapa yang benar dan siapa yang salah, walau
salah dan benar itu hakikatnya tidak ada. Semua hanya berperan dalam peranya
masing-masing, netepi lelaku. Biar-biarkan saja. Begitulah peran, macam-macam,
beraneka ragam.
Mungkin juga bila kita harus kembali ke ajaran nenek moyang kita,
harus berhenti mengeluh dan mengkritik, alias kita harus memilih berjuang,
berjuang dan terus berjuang sampai dengan hembusan nafas terakhir kita. Jangan
pernah menyerah, jangan pernah menyerah, jangan pernah menyerah!
Berjuang yang sepeti apa? Setiap orang punya perjuangannya
masing-masing. Porsinya pun berbeda-beda. Standar paling minimal adalah
berjuang memberantas kebodohan, ego diri dan kesombongan pribadi, alias menata
hati hingga tertata sedemikian rapi.
Terlepas dari itu semua, setidaknya bahagiaku sederhana. Setidaknya
aku tak perlu menjadi detektif kurang kerjaan, yang tanpa dibayar senantiasa
menelusuri kesalahan-kesalahan orang lain. Setidaknya aku tidak termasuk ke
dalam golongan orang-orang yang menyusahkan diri sendiri, yang meletakkan
kebahagiaannya di tangan orang lain. Setidaknya aku tidak menjadi orang yang
sebodoh itu! Tak perlu berlagak menjadi "talisman" (orang yang
mengatur), jikalau kau tak serius, atau sekedar bermain-main. Karena itu dapat
menjadikan kau orang yang lalai tapi sadar, atau menjadikan orang lain yang
berusaha jatuh bangun di akar rumput menjadi orang yang sama denganmu, menjadi
orang yang sebegitu menyedihkannya dirimu.
Akankah datang suatu hari di mana semua orang sadar bahwa mereka
memiliki kapal yang sama untuk sampai di dermaga? Bukan hanya sebagai penumpang
yang ingin menikmati fasilitasnya saja, dan bisa berkata bahwa ia pernah naik
kapal itu. Akankah akan tiba suatu masa di mana semua orang sadar bahwa nahkoda
bukan hanya orang yang selalu melulu memerintah, tetapi juga berkenan mendengar
pelbagai keluh kesah penghuni kapal airnya? Semoga hari esok lahir
pemimpin-pemimpin yang tidak hanya bisa memerintah, tetapi juga turut ikut
serta dalam suatu titah.
Selamat pagi selamat pagi dunia, selamat pagi semua, selamat pagi
para saudara, selamat pagi Sumatera, selamat pagi Papua, selamat pagi Jawa,
selamat pagi Kalimantan, selamat pagi Sulawesi, selamat pagi Bali dan wilayah
tengah, selamat pagi Nusantara, selamat pagi para pejuang, selamat pagi cinta,
dan selamat pagi para pemimpi! []
Warung Kopi Mato, 06 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar