Aku seperti berada di peti mati. Semua yang kulihat
gelap, pikiranku tak jelas, benakku seolah dicabik binatang buas, dan tenaga
fisik yang ikut terkuras, lelah! Hari-hariku berlalu dengan membosankan,
hidupku seolah hilang karena usang. Tak ada rintangan, tak ada tantangan, pun
tak ada kedisiplinan. Tak tersisa tanpa kesan, tanpa harapan dan sebuah pesan.
Hampa.
Demi hidup yang adalah karunia tak terhingga,
terlalu berharga bila dilalui tanpa sarat makna. Kuputuskan untuk ber-manuver,
untuk bekerja di salah satu kafe yang berada dekat dengan kediamanku saat ini.
Walau tujuanku merantau adalah untuk mencari ilmu, namun setelah kupikir-pikir,
tak ada salahnya mencari pengalaman lebih. Toh dari pengalaman ada ilmunya
juga.
Di sana, aku banyak mendapat banyak pelatihan
tentang masak-memasak. Mulai dari Tela Krezz, Fried Potato, Fried Onion Rings, Crispy
Mushroom, Edamame, Pisang Bakar, Roti Bakar, Mie Susu, Bubur Hongkong, dan macam-macam
kopi seperti Cappucino, Moccacino, Coffee Late, Coffee Milk Caramel, Coffee
Milk, Vanila Chocho Hot Coffee, Frappuccino, dan tentu saja Kopi Tubruk atau
Kotok.
Jikalau ada orang lain yang tiba-tiba mengejutkan
dengan sederet pertanyaan seperti, “Katanya santri, tapi kok usaha? Bukankah
santri itu kerjaannya cuma bisa ngaji? Bukankah tak layak bagi seorang santri
mengejar kekayaan duniawi?” Ya, biar saja. Aku tak terlalu menghiraukan apa
kata orang lain, dan aku punya argumen yang menurutku cukup kuat sebagai
alasanku untuk tidak menghiraukan orang lain. Cobalah untuk lebih manusiawi,
bahwa jika kau memiliki banyak keterampilan, niscaya di mana pun kau hidup akan
terasa mudah. Juga untuk perihal kaya, cobalah untuk lebih manusiawi, bahwa kaya
tak menjamin manusia bahagia, miskin juga belum tentu membuatnya terhina. Semua
tergantung bagaimana cara menyikapinya. Namun satu hal yang mungkin bisa
menjadi pertimbangan, bahwa jika kau kaya, setidaknya kau bisa berbuat lebih
banyak bagi sesama.
Aku teringat petuah dari seorang bijak, KH Abdullah Syukri Zarkasyi, Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam
Gontor, Ponorogo. Beliau mengatakan bahwa sejatinya kita sebagai manusia itu
hendak mengikuti kata hati atau kata orang lain? Jikalau kita mengikuti apa
kata hati, maka jangan pedulikan apa kata orang lain. Sebab ke mana pun kita
pergi, ke mana pun kita bergerak akan selalu dikomentari orang lain.
Ya, memang seperti itulah adanya. Sebagaimana kisah Luqman al-Hakim
dan anaknya. Kisah yang cukup terkenal karena mampu menggetarkan hati-hati yang
sekeras batu. Luqman al-Hakim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku kerjakanlah
amal yang menjadikanmu shalih di dalam urusan agama dan duniamu, dan teruslah
bekerja demi ke-maslahatan (kebaikan)-mu itu sampai engkau menuntaskannya.
Jangan engkau hiraukan orang lain, jangan engkau dengar tanggapan-tanggapan
mereka, dan maafkanlah mereka, karena memang tidak ada jalan yang dapat
memuaskan mereka semua, dan pula tidak ada cara untuk menyatukan hati mereka.”
“Duhai anakku, coba ambillah seekor keledai dan lihatlah apa
tanggapan orang-orang, niscaya mereka tidak senang dengan seorang pun
selama-lamanya.” Putranya kemudian datang kepadanya sembari membawa seekor keledai. Luqman menaiki keledai itu,
dan memerintahkan putranya untuk menuntun. Tak lama kemudian, mereka melewati
sekelompok orang. Tiba-tiba, orang-orang di situ mengecam Luqman seraya
berkata, “Anak muda itu berjalan kaki, sementara yang tua malah naik di atas
keledai. Sungguh, alangkah kejam dan kasarnya ia?!”
Luqman berkata kepada putranya, “Apa tanggapan orang-orang, duhai
anakku?” putranya lalu mengabarkan tanggapan mereka kepada Luqman. Setelah itu,
Luqman turun dari keledai, berganti sang putra yang menaiki dan Luqman yang
menuntun hingga mereka melewati kerumunan orang-orang di tempat yang lain.
Tidak beda dengan yang pertama, tiba-tiba mereka mencemooh putranya sembari
mengatakan, “Anak muda itu naik diatas keledai sedang yang tua yang berjalan
kaki. Oh, alangkah kejamnya anak muda itu, dan betapa kurang ajar ia?!”
Luqman lantas bertanya kepada putranya, “Duhai putraku, bagaimana tanggapan
orang-orang?” Putranya lalu memberitahukan kepadanya tentang tanggapan
orang-orang tersebut. Keduanya memutuskan untuk menaiki keledai itu
bersama-sama sampai mereka lewat di tempat yang lainnya lagi. Orang-orang di
tempat itu tiba-tiba mencerca keduanya seraya berkata, “Kedua orang itu sungguh
sangat tega, berboncengan di atas seekor keledai, padahal mereka tidak sakit
dan tidak juga lemah. Sungguh, alangkah kejamnya mereka berdua.?!”
Luqman bertanya kepada putranya lagi, “Bagaimana tanggapan mereka?”
putranya lalu mengabarkan tentang tanggapan orang-orang itu kepadanya.
Akhirnya, Luqman dan putranya turun dari keledai, lalu mereka berdua berjalan
kaki bersama sembari menuntun keledai. Mereka melewati kerumunan orang-orang di
tempat lainnya. Sama seperti sebelumnya, tiba-tiba mereka mengecam Luqman dan
putranya seraya berkomentar, “Subhanallah, seekor keledai berjalan tanpa
ditunggangi, padahal keledai kelihatan sehat dan kuat,sementara kedua orang
yang meuntunnya itu malah berjalan kaki. Oh, alangkah baiknya jika salah
seorang naik di atasnya?!”
Luqman bertanya kepada putranya, “Bagaimana tanggapan orang-orang
itu?” sama seperti sebelumnya, putranya memberitahukan tanggapan mereka
kepadanya. Kemudian Luqman mengulangi nasehatnya kepada putranya, Duhai anakku,
bukankah telah aku katakan, kerjakan apa saja yang akan menjadikanmu shalih,
dan janganlah menghiraukan tanggapan manusia. Sesungguhnya ini semua hanya karena
aku inginmemberi pelajaran kepadamu.”
Kembali kepada petuah KH Abdullah Syukri Zarkasyi, bahwa jika kita
terus-menerus mengikuti apa yang dikatakan orang lain, maka tidak bakal ada
habisnya, hanya membuang-buang tenaga saja. “Kalian ini mau nuruti kata hati
atau nuruti kata orang? Kalau nuruti kata hati, jangan pedulikan kata orang.
Sebab orang itu kita bergerak kemanapun pasti dikomentari. Saya dulu buka UKK
(Koperasi Guru) dan KUK (Toko Besi Pesantren) dan Toko Buku saja habis-habisan
dikomentari, dibilang Kyai Bisnis, Kyai Mata Duitan, Kyai Matre, tapi saya
jalan terus. Sekarang semua baru terbuka, pada ramai-ramai ikut-ikutan buka usaha.
Saya tahu bahwa Pesantren ini butuh biaya, utamanya untuk kesejahteraan Guru.
Tapi bagaimana biar ini tidak membebani santri, kesejahteraan Guru tidak boleh
dimabilkan dari dana santri. Kenapa? Biar para santri tidak berkata, “Kamu kan
sudah saya bayar!” Ini yang ingin saya hindari, maka saya buat unit-unit usaha
yang saat ini mencapai 23 buah. Semua itu demi kesejahteraan guru. Maka jangan
dengarkan kata orang jika ingin maju. Bagus atau jelek, jalani saja. Kalau
jelek ya dievaluasi ditengah jalan. Sebab dengerin kata orang itu ndak ada
habisnya. Bahkan kita tidak bergerak sekalipun, itu tetap akan dikomentari, ini
orang masih hidup atau sudah mati, kok Cuma diam saja gerakannya. Maka dari itu,
ikuti kata hatimu sebagaimana sabda Rasulullah, “Istafti Qalbak!” Jelas
Pimpinan Pondok Pesantren Modern terbesar di Indonesia tersebut.
Namun, di satu sisi, bagaimanapun juga aku berusaha
memahami suatu hal yang aku tahu menuju pemahaman yang paripurna, Tuhan lebih
mengetahui apa yang kuketahui dan apa yang tidak kuketahui. Just do it, but
think before do, and follow your heart. Because it will bring you to get the
intuition, and intuition will bring you to get a great direction. Shalluu `ala
Sayyidina Muhammad. []
Wahid Hasyim, 21 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar