Syaikh Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khiyarullah adalah seorang mujaddid dari Thantha.
Ia akrab dengan nama Muhammad yang digandengkan dengan nama bapaknya, Abduh. Beberapa
orang melihatnya sebagai usaha manifestasi kegandrungannya akan penghormatan
Islam kepada Rasulullah Saw. Karena ––sebagaimana diketahui–– di saat menyebut
nama Nabi Muhammad Saw., seringkali diikuti dengan “`abduhu wa rasuluh”.[1]
Tinta sejarah telah mencatat, bahwa Syaikh Muhammad Abduh
pernah berdakwah cukup lama di Paris. Di sana (Paris), beliau menjelaskan
segala keluhuran dan kemuliaan ajaran agama Islam. Di tangannya, tak sedikit
orang-orang Perancis yang masuk Islam. Mereka masuk Islam karena merasa takjub
dengan keindahan dan keluhuran ajaran agama Islam.
Suatu hari, Syaikh Muhammad Abduh harus meninggalkan Paris
dan kembali ke dunia Arab, lalu kembali ke Mesir. Syaikh Muhammad Abduh kembali
mengajar di Al-Azhar University, Kairo. Sekian lama ditinggal Syaikh
Muhammad Abduh, murid-murid dan jama`ah Syaikh Muhammad Abduh di Paris
merasakan kerinduan untuk berjumpa dengan gurunya. Di antara mereka, ada
beberapa orang yang nekat melakukan perjalanan panjang demi menemui gurunya
tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Syaikh Muhammad Abduh
itu sendiri. Mereka melakukan perjalanan darat, lalu perjalanan laut
menyeberangi lautan Mediterania.
Di samping itu, selain ingin berjumpa dengan Syaikh Muhammad
Abduh, mereka berharap akan menemukan saudara seiman dengan kualitas hidup yang
indah dan dalam peradaban yang indah pula. Mereka membayangkan bahwa Mesir,
tempat sang guru lahir dan besar, tempat Al-Azhar University berdiri dan ribuan
ulama dari waktu ke waktu menebar ilmu dan berdakwah, pastilah sebuah negeri
dengan cara hidup sangat Islami yang indah. Keberhasilannya pasti sangat
terjaga melebihi Paris. Sebab orang-orang Mesir pastilah sangat hafal hadits
yang berbunyi “ath-Thahuru syathrul iman” (kebersihan itu sebagian dari
iman). Pastilah tak ada orang yang miskin, sebab semua menunaikan zakat. Dan
tentunya masih banyak gambaran-gambaran lainnya yang terbayang indah. Keindahan
itu muncul begitu saja karena penjelasan-penjelasan Syaikh Muhammad Abduh
tentang kesempurnaan ajaran agama Islam.
Tatkala kapal yang mereka tumpangi merapat ke pelabuhan Port Said,
dan penumpang satu per satu turun, mereka juga turun. Murid-murid Syaikh
Muhammad Abduh dari Paris itu kaget menyaksikan pelabuhan Port Said yang
semerawut. Terlihat jelas orang-orang Mesir yang tidak bisa tertib, kata-kata
yang keras dan kasar, kebersihan yang tidak dijaga, dan pengemis yang ada di
mana-mana.
Mereka mencoba menghibur diri. Sebuah kota pelabuhan bisa
dimaklumi. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Kairo. Sampai di Kairo, mereka
benar-benar kaget dan kecewa. Gambaran keindahan peradaban Islam seperti yang
disampaikan Syaikh Muhammad Abduh tidak mereka jumpai. Mereka kecewa,
tak jauh dari Al-Azhar University, mereka menyaksikan seorang laki-laki
berjubah buang air kecil dengan menghadap tembok. “Mana adab-adab Islami yang
indah itu? Bukankah buang air kecil ada adab-adabnya? Bukankah ia hidup di
dekat Al-Azhar University?”
Mereka juga menyaksikan pengemis yang kumal di area Maydan Husein.
“Apakah mereka tidak malu kepada Rasulullah Saw.? Bukankah Rasulullah Saw.
tidak menyukai umatnya jadi peminta-minta? Namun, kenapa mereka
meminta-minta?apakah mereka tidak malu meminta-minta di Al-Azhar University?
Apakah para ulama Al-Azhar tidak ada yang mengingatkan? Apakah orang-orang kaya
di sini tidak membayar zakat?”
Ribuan pertanyaan berjubel di kepala mereka. Mereka terpukul dan
kecewa. Mereka sedih, kenapa mereka mendapatkan kenyataan pahit dan mengenaskan
itu? Lezatnya iman yang mereka rasakan saat ini, sekarang dibenturkan dengan
kenyataan riil umat Islam yang jauh dari imajinasi keluhuran ajaran Islam yang
mereka imani.
Mereka akhirnya menemukan kantor di mana Syaikh Muhammad
Abduh mengajar. Mereka pun berjumpa dengan guru yang sangat mereka rindukan.
Begitu mereka bertemu Syaikh Muhammad Abduh, mereka protes dengan apa
yang mereka lihat sejak turun dari kapal yang menyeberangi lautan Mediterania
dan menginjakkan kaki di tanah Mesir hingga mereka sampai di jantung Al-Azhar
University. Mereka mengungkapkan kekecewaan mereka kepada Syaikh
Muhammad Abduh.
“Kami berharap mendapatkan contoh Islam yang hidup di Mesir ini
Syaikh. Tapi sungguh jauh dari yang kami harapkan. Kami hampir-hampir tidak
menemukan Islam yang dipraktikkan di sini. Mana Islam yang indah, Islam yang
luhur seperti yang Syaikh ajarkan kepada kami saat di Paris dulu? Kenapa
dalam sepelemparan baru dari Masjid Al-Azhar, ada seorang laki-laki berjubah
yang buang air kecil menghadap tembok sambil berdiri? Kenapa Paris yang tidak
mengenal ajaran Islam lebih bersih dan teratur daripada Kairo? Sesungguhnya apa
yang terjadi, Syaikh?”
Bibir Syaikh Muhammad Abduh kelu. Ulama besar itu tidak bisa
menjawab pertanyaan bernada protes dari murid-murid terkasihnya itu. Kedua mata
Syaikh Muhammad Abduh berkaca-kaca. Ada kesedihan yang luar biasa hebat
menyusup ke dalam hatinya. Dengan menahan isak, Syaikh Muhammad Abduh
kemudian mengucapkan sebuah kalimat yang kemudian begitu terkenal di seantro
dunia Islam, dan kalimat itumasih relevan hingga sekarang. Kalimat itu
berbunyi, “al-Islamu mahjubun bil muslimin” (Islam tertutup oleh umat
Islam).
Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam itu
sendiri. Adapaun perilaku-perilaku buruk itu sama sekali tidak mencerminkan
ajaran Islam. Tidak juga bagian dari ajaran Islam. Akan tetapi, karena dari
mulut mereka setiap saat mengaku bahwa mereka adalah umat Islam, maka wajar
jika banyak orang yang menganggap bahwa seperti itulah ajaran Islam. Padahal
itu bukan dari ajaran Islam.
Akibatnya, jika yang dilihat adalah perilaku sebagian umat Islam
yang tak terpuji itu, dan itu yang dijadikan timbangan, maka orang bisa antiati
kepada Islam. Tak ayal, cahaya keindahan Islam tertutupi. Ironinya, yang
menutupi cahaya itu justeru perilaku pemeluknya yang tidak Islami.
Maka, apabila kita mengaku sebagai pemeluk Islam yang belum mampu
untuk mengepakkan sayap-sayap keindahan Islam, sudah sepatutnya bila kita
senantiasa berjuang dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Setidaknya, kita
tidak termasuk ke dalam golongan umat
Islam yang menjadi penghalang terpancarnya cahaya Islam. Dengan bahasa yang
lebih lugas, jikalau kita tak bisa menjadi orang yang memancarkan keindahan cahaya
Islam, setidaknya kita tak menghalangi terpancarnya cahaya Islam.
Semoga manusia yang hidup di hamparan muka bumi ini senantiasa bersyukur atas segala bentuk kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya, dan semoga senantiasa diberkati-Nya (Amin yaa
Rabb). Shallu `ala sayyidina Muhammad.
Wallahu a`lam. []
Wahid Hasyim, 30 Desember 2015
[1]
`Abbas Mahmud al-`Aqad, Muhammad Abduh, (al-Haiat al-Mishriyyah al-`Ammah li
Ta`lif wa an-Nasyr, 1970). Hlm. 68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar