Selasa, 29 Desember 2015

Sekilas Tentang Islam (Rekam Sejarah Abduh)

Syaikh Muhammad bin Abduh bin Hasan Khiyarullah adalah seorang mujaddid dari Thantha. Ia akrab dengan nama Muhammad yang digandengkan dengan nama bapaknya, Abduh. Beberapa orang melihatnya sebagai usaha manifestasi kegandrungannya akan penghormatan Islam kepada Rasulullah Saw. Karena ––sebagaimana diketahui–– di saat menyebut nama Nabi Muhammad Saw., seringkali diikuti dengan “`abduhu wa rasuluh”.[1]

Tinta sejarah telah mencatat, bahwa Syaikh Muhammad Abduh pernah berdakwah cukup lama di Paris. Di sana (Paris), beliau menjelaskan segala keluhuran dan kemuliaan ajaran agama Islam. Di tangannya, tak sedikit orang-orang Perancis yang masuk Islam. Mereka masuk Islam karena merasa takjub dengan keindahan dan keluhuran ajaran agama Islam.

Suatu hari, Syaikh Muhammad Abduh harus meninggalkan Paris dan kembali ke dunia Arab, lalu kembali ke Mesir. Syaikh Muhammad Abduh kembali mengajar di Al-Azhar University, Kairo. Sekian lama ditinggal Syaikh Muhammad Abduh, murid-murid dan jama`ah Syaikh Muhammad Abduh di Paris merasakan kerinduan untuk berjumpa dengan gurunya. Di antara mereka, ada beberapa orang yang nekat melakukan perjalanan panjang demi menemui gurunya tersebut, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Syaikh Muhammad Abduh itu sendiri. Mereka melakukan perjalanan darat, lalu perjalanan laut menyeberangi lautan Mediterania.

Di samping itu, selain ingin berjumpa dengan Syaikh Muhammad Abduh, mereka berharap akan menemukan saudara seiman dengan kualitas hidup yang indah dan dalam peradaban yang indah pula. Mereka membayangkan bahwa Mesir, tempat sang guru lahir dan besar, tempat Al-Azhar University berdiri dan ribuan ulama dari waktu ke waktu menebar ilmu dan berdakwah, pastilah sebuah negeri dengan cara hidup sangat Islami yang indah. Keberhasilannya pasti sangat terjaga melebihi Paris. Sebab orang-orang Mesir pastilah sangat hafal hadits yang berbunyi “ath-Thahuru syathrul iman” (kebersihan itu sebagian dari iman). Pastilah tak ada orang yang miskin, sebab semua menunaikan zakat. Dan tentunya masih banyak gambaran-gambaran lainnya yang terbayang indah. Keindahan itu muncul begitu saja karena penjelasan-penjelasan Syaikh Muhammad Abduh tentang kesempurnaan ajaran agama Islam.

Tatkala kapal yang mereka tumpangi merapat ke pelabuhan Port Said, dan penumpang satu per satu turun, mereka juga turun. Murid-murid Syaikh Muhammad Abduh dari Paris itu kaget menyaksikan pelabuhan Port Said yang semerawut. Terlihat jelas orang-orang Mesir yang tidak bisa tertib, kata-kata yang keras dan kasar, kebersihan yang tidak dijaga, dan pengemis yang ada di mana-mana.

Mereka mencoba menghibur diri. Sebuah kota pelabuhan bisa dimaklumi. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Kairo. Sampai di Kairo, mereka benar-benar kaget dan kecewa. Gambaran keindahan peradaban Islam seperti yang disampaikan Syaikh Muhammad Abduh tidak mereka jumpai. Mereka kecewa, tak jauh dari Al-Azhar University, mereka menyaksikan seorang laki-laki berjubah buang air kecil dengan menghadap tembok. “Mana adab-adab Islami yang indah itu? Bukankah buang air kecil ada adab-adabnya? Bukankah ia hidup di dekat Al-Azhar University?”

Mereka juga menyaksikan pengemis yang kumal di area Maydan Husein. “Apakah mereka tidak malu kepada Rasulullah Saw.? Bukankah Rasulullah Saw. tidak menyukai umatnya jadi peminta-minta? Namun, kenapa mereka meminta-minta?apakah mereka tidak malu meminta-minta di Al-Azhar University? Apakah para ulama Al-Azhar tidak ada yang mengingatkan? Apakah orang-orang kaya di sini tidak membayar zakat?”

Ribuan pertanyaan berjubel di kepala mereka. Mereka terpukul dan kecewa. Mereka sedih, kenapa mereka mendapatkan kenyataan pahit dan mengenaskan itu? Lezatnya iman yang mereka rasakan saat ini, sekarang dibenturkan dengan kenyataan riil umat Islam yang jauh dari imajinasi keluhuran ajaran Islam yang mereka imani.

Mereka akhirnya menemukan kantor di mana Syaikh Muhammad Abduh mengajar. Mereka pun berjumpa dengan guru yang sangat mereka rindukan. Begitu mereka bertemu Syaikh Muhammad Abduh, mereka protes dengan apa yang mereka lihat sejak turun dari kapal yang menyeberangi lautan Mediterania dan menginjakkan kaki di tanah Mesir hingga mereka sampai di jantung Al-Azhar University. Mereka mengungkapkan kekecewaan mereka kepada Syaikh Muhammad Abduh.

“Kami berharap mendapatkan contoh Islam yang hidup di Mesir ini Syaikh. Tapi sungguh jauh dari yang kami harapkan. Kami hampir-hampir tidak menemukan Islam yang dipraktikkan di sini. Mana Islam yang indah, Islam yang luhur seperti yang Syaikh ajarkan kepada kami saat di Paris dulu? Kenapa dalam sepelemparan baru dari Masjid Al-Azhar, ada seorang laki-laki berjubah yang buang air kecil menghadap tembok sambil berdiri? Kenapa Paris yang tidak mengenal ajaran Islam lebih bersih dan teratur daripada Kairo? Sesungguhnya apa yang terjadi, Syaikh?”

Bibir Syaikh Muhammad Abduh kelu. Ulama besar itu tidak bisa menjawab pertanyaan bernada protes dari murid-murid terkasihnya itu. Kedua mata Syaikh Muhammad Abduh berkaca-kaca. Ada kesedihan yang luar biasa hebat menyusup ke dalam hatinya. Dengan menahan isak, Syaikh Muhammad Abduh kemudian mengucapkan sebuah kalimat yang kemudian begitu terkenal di seantro dunia Islam, dan kalimat itumasih relevan hingga sekarang. Kalimat itu berbunyi, “al-Islamu mahjubun bil muslimin” (Islam tertutup oleh umat Islam).

Cahaya keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam itu sendiri. Adapaun perilaku-perilaku buruk itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. Tidak juga bagian dari ajaran Islam. Akan tetapi, karena dari mulut mereka setiap saat mengaku bahwa mereka adalah umat Islam, maka wajar jika banyak orang yang menganggap bahwa seperti itulah ajaran Islam. Padahal itu bukan dari ajaran Islam.

Akibatnya, jika yang dilihat adalah perilaku sebagian umat Islam yang tak terpuji itu, dan itu yang dijadikan timbangan, maka orang bisa antiati kepada Islam. Tak ayal, cahaya keindahan Islam tertutupi. Ironinya, yang menutupi cahaya itu justeru perilaku pemeluknya yang tidak Islami.

Maka, apabila kita mengaku sebagai pemeluk Islam yang belum mampu untuk mengepakkan sayap-sayap keindahan Islam, sudah sepatutnya bila kita senantiasa berjuang dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Setidaknya, kita tidak termasuk  ke dalam golongan umat Islam yang menjadi penghalang terpancarnya cahaya Islam. Dengan bahasa yang lebih lugas, jikalau kita tak bisa menjadi orang yang memancarkan keindahan cahaya Islam, setidaknya kita tak menghalangi terpancarnya cahaya Islam.

Semoga manusia yang hidup di hamparan muka bumi ini senantiasa bersyukur atas segala bentuk kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya, dan semoga senantiasa diberkati-Nya (Amin yaa Rabb). Shallu `ala sayyidina Muhammad.

Wallahu a`lam. []

Wahid Hasyim, 30 Desember 2015




[1] `Abbas Mahmud al-`Aqad, Muhammad Abduh, (al-Haiat al-Mishriyyah al-`Ammah li Ta`lif wa an-Nasyr, 1970). Hlm. 68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar