Waktu sore kuhabiskan dengan duduk santai di teras catur untuk
sekedar mencari ketenangan dan menikmati senja yang mulai tua. Sesekali
terdengar suara anak-anak tertawa ceria, sesekali juga terlihat anak-anak
sedang berlari ke sana ke mari, bermain petak umpet, dan bersepeda. Bahagia
mereka begitu sederhana bukan? Ya.
Terkadang aku ingin kembali seperti mereka, seperti anak kecil.
Mereka selalu saja tertawa girang, penuh canda ria, sesekali usil kemudian
bertengkar dan pada akhirnya tetap saja mereka saling memaafkan. Bisakah aku
kembali ke masa tersebut? Tentu tidak. Lalu bagaimana caraku agar dapat
berbahagia sederhana? Simple, cukup menghitung apa yang masih kumiliki dan
kemudian mensyukurinya (walau pada kenyataannya tetap saja tak mampu kuhitung),
dan jikalau aku merasa letih, maka aku hanya perlu mencukupkan keletihanku ke
dalam istirahat yang cukup. Ya begitulah, urip kui mung piye carane lek
nyikapine.
Setidaknya aku masih dapat meneladani sifat-sifat baik mereka, karena
sifat-sifat mereka adalah sifat air yang selalu mengalir. Bisa kau bayangkan
bila air itu tidak mengalir, ia akan mampet dan menyebabkan banjir, pendendam,
dan anak kecil tak memiliki itu. Kau pun harus memahami satu hal bahwa dalam
hal meneladani ataupun belajar, kau bisa saja meneladani yang lebih muda
ataupun belajar kepada yang lebih muda. Tak masalah. Buang saja egomu itu
jauh-jauh.
Jika kau orang yang dewasa atau katakanlah orang tua, maka tugasmu
adalah untuk membimbing anak kecil yang serba ingin tahu, bahwa kau harus tahu
jika anak kecil itu mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Tugasmu sebagai orang
dewasa ataupun orang tua bukan untuk melarangnya, melainkan mengarahkannya.
Dikhawatirkan, bila kau melarangnya (membatasi rasa ingin tahunya), ketika anak
kecil itu sudah tumbuh dewasa, ia akan takut untuk mencoba hal-hal lain yang
ingin diketahuinya.
“Ngomong-ngomong, apa kabar waktu soremu, wahai wanita penunggu
senja?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku, dan kemudian aku
diam. Ya, aku lebih banyak diam, dan kau perlu tahu satu hal bahwa diam bukan
berarti aku tak mencintaimu. Dalam diam aku senantiasa memikirkanmu, dan memandang
dari kejauhan adalah cara terbaiku untuk mencintaimu, karna kesabaranku tak
cukup untuk membuatmu percaya dan tak cukup membuatmu sadar.
“Hey! Ngelamun terus.”
Aku kaget. Hampir jatuh dari kursi. Aku hendak naik pitam, tapi
untuk apa? Tanpa angin, tanpa hujan, dan tanpa diduga-duga sepupuku pulang dari
petualangannya menyusuri pantai-pantai yang berada di Gunung Kidul, Yogyakarta.
Akhirnya kuputuskan untuk tidak jadi naik pitam, kuputuskan untuk mengganti
raut wajahku dengan raut wajah ramah dan mimik wajah yang terlihat begitu
senang tatkala bertemu dengan seseorang yang dirindunya. Setelah itu kami
bercakap-cakap sekedarnya.
Senja akhirnya hilang, berganti dengan gelapnya malam. Kubergegas
pergi ke kamar mandi. Mengambil handuk, mengisi ulang sabun cair, dan membawa
seperangkat alat mandi lainnya. Air terasa dingin. Tubuhku merasa segar.
Kepalaku yang sebelumnya terasa berat mulai terasa ringan.
“Sudah mandi?” Sepupuku bertanya.
“Sudah. Air di sini terasa menyegarkan.” Aku menjawab.
Adzan Maghrib terdengar, lirih. Kubergegas pergi ke masjid. Sengaja
tak memakai peci. Agar orang lain menganggapku liberal, agar orang lain tahu
bahwa seorang muslim liberal pun tetap shalat ber-jama`ah, agar orang lain
mengerti bahwa muslim liberal bukanlah orang yang harus dimusuhi. Demi nama
manusia yang memanusiakan manusia lainnya.
Ritual ibdadah pun akhirnya selesai. Kukembali menuju kediaman. Sepupuku
mengajak makan sego megono. Aku dan sepupuku pergi keluar, mencari sego
megono. Demi sego megono, aku dan sepupuku harus rela menerjang
hujan dan dinginnya angin yang berhembus riung. Namun tak apa, karena setiba di
lokasi lidah langsung dimanjakan mendoan dan pelbagai makanan khas Pekalongan
(walau rasa tak bisa bohong) beserta kehangatannya. Tak tahukah kau, bahwa menunggu
santap makan malam yang berupa sego megono di pinggiran jalan sembari menikmati
hilir lalu-lalangnya kendaraan adalah salah satu dari sekian banyak cara menikmati
kehidupan di kota rauntauan?
Makan pun selesai. Aku dan sepupuku kembali ke kediaman. Setiba di
kediaman, gegas kuambil buku, belajar sebentar. Aku hampir lupa kalau malam ini
di pondok ada jadwal ujian. Ujian pondok? Ya. Sekelas mahasiswa masih hidup di pondok?
Tentu saja. Kaum sarungan adalah bagian dari hidupku, dan jujur saja, aku tak
bisa hidup jauh-jauh dari kaum sarungan (adat dan tradisi kaum sarungan itu
keren tahu). Ya, bagiku kaum sarungan adalah pendidikan terbaik yang dimiliki
oleh dunia, bagaimana seorang kyai dengan keikhlasannya mampu mentransfer
nilai-nilai hidup dan kehidupan. Inilah kami "pesantren" dengan
mengedepankan panca jiwa yang ada, langka dicari, susah di dapat dan mahal
harganya.
Setibaku di kelas ujian, ternyata ujian malam ini ada delapan soal,
dan semua kujawab (bahkan kulebihkan menjadi sembilan). Yakni berupa satu
jawaban serius, empat jawaban agak serius, tiga jawaban tidak serius, dan
kutambah satu buah untaian kata sebagai berikut; "Tuhanku, sudah
seyogyanya bila aku bersyukur kepada-Mu, bahkan bukan hanya aku melainkan kami
semua manusia. Semoga engkau kami senantiasa berada dalam kasih-Mu, selaras
dengan semesta, menolongantar sesama, dan senantiasa menebarkan cinta kasih dan
welas asih."
Ya begitulah. Aku seringkali bertindak ring-rong alias
kurang umum bagi khayalak. Bagiku ujian sama halnya seperti permainan. Walau
aku tak bisa memainkannya, kuanggap asyik saja. Walau aku tak bisa menjawabnya,
biar saja. Hal yang terpenting adalah kau harus percaya bahwa ada potensi
tersembunyi yang tidur dalam dirimu. Tugasmu adalah mencari potensi apa yang
terpendam dalam dirimu dan membangunkannya. Cepat atau lambat, potensi itu
pasti bangkit. Jangan kau buat sia-sia potensi yang ada pada dirimu. Masalahmu
mungkin memang tak bisa diselesaikan secara langsung, tetapi suatu saat
masalahmu pasti terselesaikan. Kau sendiri harus paham bahwa masalah bukan
untuk menguji seberapa mampu kau bertahan terhadap gempuran-gempuran kehidupan,
atau seberapa banyak kau memiliki kekuatan, melaiankan untuk memberikan kau
waktu dan kesempatan, untuk melatih kedewasaan dan mengambil kebijaksanaan
dalap bersikap, yang tertuang dalam kehidupan ruang dan waktu dengan sikap yang
tentu patut ditiru, selaras dengan semesta.
Jangan pernah berputus asa, selagi kau berusaha, kau pasti mencapai
tujuamu. Namun, jika kau memutuskan untuk menyerah, maka pada saat itu pula kau
memutuskan untuk tidak dapat apa-apa. Hingga ajal merenggut nafasmu nanti,
jangan pernah menyerah, jangan pernah berhenti berproses. Jatuh bukanlah
sesuatu yang memalukan, yang memalukan adalah jika kau jatuh namun kau
memutuskan untuk tidak berdiri lagi. Perlebarlah cara pandangmu dan bagaimana
tindakanmu jauh ke depan, niscaya akan banyak hal yang dapat kau lakukan. Jika
kau bodoh dalam satu pelajaran, belum tentu kau bodoh dalam pelajaran lainnya.
Jika kau bodoh dalam matematika, belum tentu kau bodoh dalam keilmuan agama.
Jika kau bodoh dalam fisika, belum tentu kau bodoh dalam keilmuan hermeneutika.
Itu sudah lumrah, kan?
Nah, untuk kau dan kau yang sudah merasa pintar, saranku, tak perlu
memandang rendah kebaikan orang lain dengan membandingkan kebaikan dirimu. Kau
juga tak perlu menganggap orang lain lebih bodoh dibanding dirimu. Ketahuilah
bahwa saling memandang kebaikan tanpa merendahkan itu indah, saling berprasangka
baik dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan sesama adalah salah satu cara agar
dapat selaras dengan semesta.
Kau pun harus mengerti, bahwa dalam ruang kelas,
atau dalam strata pendidikan, kau boleh saja lebih tinggi, lebih tua, atau
lebih dulu tahu dalam jenjangan waktu. Namun, jangan pernah kau merasa lebih
pintar. Karena rasa akan kepintaranmu itu suatu waktu akan menjadi bumerang
ataupun bom waktu masa depanmu.
Aku memang tidak memiliki kekuatan hafalan kuat
seperti para penghafal al-Qur'an, juga tidak memiliki kecerdasan luar biasa
seperti para generasi turunan umat Yahudi, dan tidak pula memiliki keluasan
kebijaksanaan seperti para filsuf. Tetapi aku berusaha lebih keras dibanding
lainnya. Aku seperti seorang murid yang dekat dengan gagal dan jauh akan
pintar. Tetapi selalu meninjau kembali, memeriksa, memperbaiki, dan merevisi di
setiap ujian dan berujung baik di akhir.
Ya begitulah santri, kaum sarungan. Tak tahukah kau, bahwa jalan
hidup santri adalah kesejatian menapaki jalan hidup ini? Okay, aku akan bercerita
panjang lebar, karena pada hakikatnya aku memang sedang bercerita tak
karu-karuan. Cerita ini pada mulanya dimuat di laman situs santrijagad.org yang berjudul;
“Bang Idin, Santri Tebiureng Jawara Lingkungan.”
Namanya Haji Chaerudin, beliau lahir pada tanggal 13 April 1956.
Beliau seorang tamatan SMP yang memulai penjelajahannya di Kali Pesanggrahan
pada 1989. Saat itu ia bertualang selama lima hari enam malam, menyusuri Kali
Pesanggrahan ke hulunya di Kaki Gunung Pangrango sejauh 136 km dengan berjalan
kaki atau berakit batang pisang.
Ia mencari tahu apa saja yang masih tersisa di sepanjang aliran
kali. Pohon apa saja yang tak lagi tegak, satwa apa saja yang lenyap, ikan apa
saja yang minggat, dan mata air mana saja yang alirannya tersumbat. Usahanya
dimulai dengan membersihkan sampah. Langkah awal ini ternyata tidak mudah.
Syahdan, berkat kesabaran dan tekad kuat, lambat laun, kesadaran
juragan-juragan tanah yang membangun pagar beton tinggi hingga ke bantaran kali
mulai tumbuh. Bang Idin kemudian juga mengajak teman-temannya sesama petani
penggarap untuk mengikuti langkahnya.
Kini, mereka berhasil menanam 40 ribuan pohon produktif di
sepanjang bantaran kali. Burung-burung yang dulunya pergi akhirnya kembali.
Mata air yang dulu tertutup sampah, kembali hidup. Air kali Pesanggrahan kini
sudah normal kembali. Ikan-ikan bisa hidup dan berkembang biak.
Hal yang paling utama, si Jampang Penghijau ini tidak hanya sekadar
merehabilitasi dan melakukan konservasi alam, tetapi juga berhasil meningkatkan
kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar bantaran kali sehingga mereka bisa
hidup dari kegiatan bertani dan beternak.
Pohon produktif, seperti melinjo, kelapa, dan durian bisa dipanen.
Demikian juga sayur-mayur yang ditanam di bantaran kali. Sementara pembibitan
ikan juga bisa dilakukan di air yang jernih. Sebagian lahan bantaran kali juga
digunakan untuk berternak kambing etawa. “Penyelamatan alam itu harus punya
nilai kehidupan,” usungnya.
Hasilnya sungguh luar biasa. Area seluas 40 hektar, membentang
sepanjang tepian Kali Pesanggrahan, menjadi ijo royo-royo. Burung-burung
berkicau setiap hari. Bahkan burung cakakak yang bersarang di tanah dan sudah
jarang ditemui di wilayah lain di Jakarta, kini juga bisa ditemukan.
Pohon-pohon yang mulai langka di Jakarta, seperti buni, jamblang, kirai, salam,
tanjung, kecapi, kepel, rengas, mandalka, drowakan, gandaria, dan bisbul dapat
dijumpai di sini. Belum lagi tanaman obat yang jumlahnya mencapai 142 jenis.
Tentang Islam dan lingkungan, ia berpendapat; “Tak boleh kita
bicara ‘kebersihan sebagian dari iman’ tapi sampah di selokan masjid masih
dibiarkan. Taqwa ‘kan tak bisa diartikan dari satu sudut saja. Mengapa
sampah-sampah itu tidak kita bereskan, ditampung, diolah, dibikin sesuatu, jadi
bermanfaat, tak perlu menunggu presiden, gubernur, camat. Taqwa itu luas. Orang
muslim sejati itu bak tawon, tidak merusak justru menebar manfaat, tapi kalau
diganggu pantang mundur. Tapi sekarang, berbeda sedikit, main bakar masjid.
Alasannya ‘laa ilaaha illallaah’, sadis betul. Kalau saya, berpedoman ‘laa
ilaaha illallaah’, apapun mazhabnya itu urusan Tuhan. Kita pengucap syahadat
tak boleh berlaku dzalim.”
Ia menambahkan, "Saya di Pesantren Tebuireng dua tahunan,
sekitar tahun tujuh puluh dua. Saya datang ke sana dan pulang tanpa disuruh
siapapun. Di sana, saya menimba air buat wudhu di masjid. Kalau yang lain baca
kitab di malam hari, saya tidur karena kecapekan. Kakek saya teman Kiai Hasyim
Asy’ari semasa perang. Kekaguman saya kepada beliau membuat saya mengaji ke
Tebuireng. Beliau juga dahulu berjuang dalam pertanian, itulah yang saya ikuti.
Saya tidak pandai baca kitab, tapi bisalah mengaktualkan apa yang saya tahu.
Setidaknya kita punya nilai, meskipun cuma setitik embun di padang pasir. Saya
tidak ada cita-cita nanti bagaimana, apalagi cari beken. Mengalir saja seperti
air di sungai, begitu sifat santri."
Jadi, masih ragukah kau untuk menempuh jalan hidup yang seperti ini?
[]
Yogyakarta, 13 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar