Minggu, 20 Desember 2015

Cerita Tak Karuan

Waktu sore kuhabiskan dengan duduk santai di teras catur untuk sekedar mencari ketenangan dan menikmati senja yang mulai tua. Sesekali terdengar suara anak-anak tertawa ceria, sesekali juga terlihat anak-anak sedang berlari ke sana ke mari, bermain petak umpet, dan bersepeda. Bahagia mereka begitu sederhana bukan? Ya.

Terkadang aku ingin kembali seperti mereka, seperti anak kecil. Mereka selalu saja tertawa girang, penuh canda ria, sesekali usil kemudian bertengkar dan pada akhirnya tetap saja mereka saling memaafkan. Bisakah aku kembali ke masa tersebut? Tentu tidak. Lalu bagaimana caraku agar dapat berbahagia sederhana? Simple, cukup menghitung apa yang masih kumiliki dan kemudian mensyukurinya (walau pada kenyataannya tetap saja tak mampu kuhitung), dan jikalau aku merasa letih, maka aku hanya perlu mencukupkan keletihanku ke dalam istirahat yang cukup. Ya begitulah, urip kui mung piye carane lek nyikapine.

Setidaknya aku masih dapat meneladani sifat-sifat baik mereka, karena sifat-sifat mereka adalah sifat air yang selalu mengalir. Bisa kau bayangkan bila air itu tidak mengalir, ia akan mampet dan menyebabkan banjir, pendendam, dan anak kecil tak memiliki itu. Kau pun harus memahami satu hal bahwa dalam hal meneladani ataupun belajar, kau bisa saja meneladani yang lebih muda ataupun belajar kepada yang lebih muda. Tak masalah. Buang saja egomu itu jauh-jauh.

Jika kau orang yang dewasa atau katakanlah orang tua, maka tugasmu adalah untuk membimbing anak kecil yang serba ingin tahu, bahwa kau harus tahu jika anak kecil itu mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Tugasmu sebagai orang dewasa ataupun orang tua bukan untuk melarangnya, melainkan mengarahkannya. Dikhawatirkan, bila kau melarangnya (membatasi rasa ingin tahunya), ketika anak kecil itu sudah tumbuh dewasa, ia akan takut untuk mencoba hal-hal lain yang ingin diketahuinya.

“Ngomong-ngomong, apa kabar waktu soremu, wahai wanita penunggu senja?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku, dan kemudian aku diam. Ya, aku lebih banyak diam, dan kau perlu tahu satu hal bahwa diam bukan berarti aku tak mencintaimu. Dalam diam aku senantiasa memikirkanmu, dan memandang dari kejauhan adalah cara terbaiku untuk mencintaimu, karna kesabaranku tak cukup untuk membuatmu percaya dan tak cukup membuatmu sadar.

“Hey! Ngelamun terus.”

Aku kaget. Hampir jatuh dari kursi. Aku hendak naik pitam, tapi untuk apa? Tanpa angin, tanpa hujan, dan tanpa diduga-duga sepupuku pulang dari petualangannya menyusuri pantai-pantai yang berada di Gunung Kidul, Yogyakarta. Akhirnya kuputuskan untuk tidak jadi naik pitam, kuputuskan untuk mengganti raut wajahku dengan raut wajah ramah dan mimik wajah yang terlihat begitu senang tatkala bertemu dengan seseorang yang dirindunya. Setelah itu kami bercakap-cakap sekedarnya.

Senja akhirnya hilang, berganti dengan gelapnya malam. Kubergegas pergi ke kamar mandi. Mengambil handuk, mengisi ulang sabun cair, dan membawa seperangkat alat mandi lainnya. Air terasa dingin. Tubuhku merasa segar. Kepalaku yang sebelumnya terasa berat mulai terasa ringan.

“Sudah mandi?” Sepupuku bertanya.

“Sudah. Air di sini terasa menyegarkan.” Aku menjawab.

Adzan Maghrib terdengar, lirih. Kubergegas pergi ke masjid. Sengaja tak memakai peci. Agar orang lain menganggapku liberal, agar orang lain tahu bahwa seorang muslim liberal pun tetap shalat ber-jama`ah, agar orang lain mengerti bahwa muslim liberal bukanlah orang yang harus dimusuhi. Demi nama manusia yang memanusiakan manusia lainnya.

Ritual ibdadah pun akhirnya selesai. Kukembali menuju kediaman. Sepupuku mengajak makan sego megono. Aku dan sepupuku pergi keluar, mencari sego megono. Demi sego megono, aku dan sepupuku harus rela menerjang hujan dan dinginnya angin yang berhembus riung. Namun tak apa, karena setiba di lokasi lidah langsung dimanjakan mendoan dan pelbagai makanan khas Pekalongan (walau rasa tak bisa bohong) beserta kehangatannya. Tak tahukah kau, bahwa menunggu santap makan malam yang berupa sego megono di pinggiran jalan sembari menikmati hilir lalu-lalangnya kendaraan adalah salah satu dari sekian banyak cara menikmati kehidupan di kota rauntauan?

Makan pun selesai. Aku dan sepupuku kembali ke kediaman. Setiba di kediaman, gegas kuambil buku, belajar sebentar. Aku hampir lupa kalau malam ini di pondok ada jadwal ujian. Ujian pondok? Ya. Sekelas mahasiswa masih hidup di pondok? Tentu saja. Kaum sarungan adalah bagian dari hidupku, dan jujur saja, aku tak bisa hidup jauh-jauh dari kaum sarungan (adat dan tradisi kaum sarungan itu keren tahu). Ya, bagiku kaum sarungan adalah pendidikan terbaik yang dimiliki oleh dunia, bagaimana seorang kyai dengan keikhlasannya mampu mentransfer nilai-nilai hidup dan kehidupan. Inilah kami "pesantren" dengan mengedepankan panca jiwa yang ada, langka dicari, susah di dapat dan mahal harganya.

Setibaku di kelas ujian, ternyata ujian malam ini ada delapan soal, dan semua kujawab (bahkan kulebihkan menjadi sembilan). Yakni berupa satu jawaban serius, empat jawaban agak serius, tiga jawaban tidak serius, dan kutambah satu buah untaian kata sebagai berikut; "Tuhanku, sudah seyogyanya bila aku bersyukur kepada-Mu, bahkan bukan hanya aku melainkan kami semua manusia. Semoga engkau kami senantiasa berada dalam kasih-Mu, selaras dengan semesta, menolongantar sesama, dan senantiasa menebarkan cinta kasih dan welas asih."

Ya begitulah. Aku seringkali bertindak ring-rong alias kurang umum bagi khayalak. Bagiku ujian sama halnya seperti permainan. Walau aku tak bisa memainkannya, kuanggap asyik saja. Walau aku tak bisa menjawabnya, biar saja. Hal yang terpenting adalah kau harus percaya bahwa ada potensi tersembunyi yang tidur dalam dirimu. Tugasmu adalah mencari potensi apa yang terpendam dalam dirimu dan membangunkannya. Cepat atau lambat, potensi itu pasti bangkit. Jangan kau buat sia-sia potensi yang ada pada dirimu. Masalahmu mungkin memang tak bisa diselesaikan secara langsung, tetapi suatu saat masalahmu pasti terselesaikan. Kau sendiri harus paham bahwa masalah bukan untuk menguji seberapa mampu kau bertahan terhadap gempuran-gempuran kehidupan, atau seberapa banyak kau memiliki kekuatan, melaiankan untuk memberikan kau waktu dan kesempatan, untuk melatih kedewasaan dan mengambil kebijaksanaan dalap bersikap, yang tertuang dalam kehidupan ruang dan waktu dengan sikap yang tentu patut ditiru, selaras dengan semesta.

Jangan pernah berputus asa, selagi kau berusaha, kau pasti mencapai tujuamu. Namun, jika kau memutuskan untuk menyerah, maka pada saat itu pula kau memutuskan untuk tidak dapat apa-apa. Hingga ajal merenggut nafasmu nanti, jangan pernah menyerah, jangan pernah berhenti berproses. Jatuh bukanlah sesuatu yang memalukan, yang memalukan adalah jika kau jatuh namun kau memutuskan untuk tidak berdiri lagi. Perlebarlah cara pandangmu dan bagaimana tindakanmu jauh ke depan, niscaya akan banyak hal yang dapat kau lakukan. Jika kau bodoh dalam satu pelajaran, belum tentu kau bodoh dalam pelajaran lainnya. Jika kau bodoh dalam matematika, belum tentu kau bodoh dalam keilmuan agama. Jika kau bodoh dalam fisika, belum tentu kau bodoh dalam keilmuan hermeneutika. Itu sudah lumrah, kan?

Nah, untuk kau dan kau yang sudah merasa pintar, saranku, tak perlu memandang rendah kebaikan orang lain dengan membandingkan kebaikan dirimu. Kau juga tak perlu menganggap orang lain lebih bodoh dibanding dirimu. Ketahuilah bahwa saling memandang kebaikan tanpa merendahkan itu indah, saling berprasangka baik dengan kebaikan-kebaikan yang dilakukan sesama adalah salah satu cara agar dapat selaras dengan semesta.

Kau pun harus mengerti, bahwa dalam ruang kelas, atau dalam strata pendidikan, kau boleh saja lebih tinggi, lebih tua, atau lebih dulu tahu dalam jenjangan waktu. Namun, jangan pernah kau merasa lebih pintar. Karena rasa akan kepintaranmu itu suatu waktu akan menjadi bumerang ataupun bom waktu masa depanmu.

Aku memang tidak memiliki kekuatan hafalan kuat seperti para penghafal al-Qur'an, juga tidak memiliki kecerdasan luar biasa seperti para generasi turunan umat Yahudi, dan tidak pula memiliki keluasan kebijaksanaan seperti para filsuf. Tetapi aku berusaha lebih keras dibanding lainnya. Aku seperti seorang murid yang dekat dengan gagal dan jauh akan pintar. Tetapi selalu meninjau kembali, memeriksa, memperbaiki, dan merevisi di setiap ujian dan berujung baik di akhir.

Ya begitulah santri, kaum sarungan. Tak tahukah kau, bahwa jalan hidup santri adalah kesejatian menapaki jalan hidup ini? Okay, aku akan bercerita panjang lebar, karena pada hakikatnya aku memang sedang bercerita tak karu-karuan. Cerita ini pada mulanya dimuat di laman situs santrijagad.org yang berjudul; “Bang Idin, Santri Tebiureng Jawara Lingkungan.”

Namanya Haji Chaerudin, beliau lahir pada tanggal 13 April 1956. Beliau seorang tamatan SMP yang memulai penjelajahannya di Kali Pesanggrahan pada 1989. Saat itu ia bertualang selama lima hari enam malam, menyusuri Kali Pesanggrahan ke hulunya di Kaki Gunung Pangrango sejauh 136 km dengan berjalan kaki atau berakit batang pisang.

Ia mencari tahu apa saja yang masih tersisa di sepanjang aliran kali. Pohon apa saja yang tak lagi tegak, satwa apa saja yang lenyap, ikan apa saja yang minggat, dan mata air mana saja yang alirannya tersumbat. Usahanya dimulai dengan membersihkan sampah. Langkah awal ini ternyata tidak mudah.

Syahdan, berkat kesabaran dan tekad kuat, lambat laun, kesadaran juragan-juragan tanah yang membangun pagar beton tinggi hingga ke bantaran kali mulai tumbuh. Bang Idin kemudian juga mengajak teman-temannya sesama petani penggarap untuk mengikuti langkahnya.

Kini, mereka berhasil menanam 40 ribuan pohon produktif di sepanjang bantaran kali. Burung-burung yang dulunya pergi akhirnya kembali. Mata air yang dulu tertutup sampah, kembali hidup. Air kali Pesanggrahan kini sudah normal kembali. Ikan-ikan bisa hidup dan berkembang biak.

Hal yang paling utama, si Jampang Penghijau ini tidak hanya sekadar merehabilitasi dan melakukan konservasi alam, tetapi juga berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar bantaran kali sehingga mereka bisa hidup dari kegiatan bertani dan beternak.

Pohon produktif, seperti melinjo, kelapa, dan durian bisa dipanen. Demikian juga sayur-mayur yang ditanam di bantaran kali. Sementara pembibitan ikan juga bisa dilakukan di air yang jernih. Sebagian lahan bantaran kali juga digunakan untuk berternak kambing etawa. “Penyelamatan alam itu harus punya nilai kehidupan,” usungnya.

Hasilnya sungguh luar biasa. Area seluas 40 hektar, membentang sepanjang tepian Kali Pesanggrahan, menjadi ijo royo-royo. Burung-burung berkicau setiap hari. Bahkan burung cakakak yang bersarang di tanah dan sudah jarang ditemui di wilayah lain di Jakarta, kini juga bisa ditemukan. Pohon-pohon yang mulai langka di Jakarta, seperti buni, jamblang, kirai, salam, tanjung, kecapi, kepel, rengas, mandalka, drowakan, gandaria, dan bisbul dapat dijumpai di sini. Belum lagi tanaman obat yang jumlahnya mencapai 142 jenis.

Tentang Islam dan lingkungan, ia berpendapat; “Tak boleh kita bicara ‘kebersihan sebagian dari iman’ tapi sampah di selokan masjid masih dibiarkan. Taqwa ‘kan tak bisa diartikan dari satu sudut saja. Mengapa sampah-sampah itu tidak kita bereskan, ditampung, diolah, dibikin sesuatu, jadi bermanfaat, tak perlu menunggu presiden, gubernur, camat. Taqwa itu luas. Orang muslim sejati itu bak tawon, tidak merusak justru menebar manfaat, tapi kalau diganggu pantang mundur. Tapi sekarang, berbeda sedikit, main bakar masjid. Alasannya ‘laa ilaaha illallaah’, sadis betul. Kalau saya, berpedoman ‘laa ilaaha illallaah’, apapun mazhabnya itu urusan Tuhan. Kita pengucap syahadat tak boleh berlaku dzalim.”

Ia menambahkan, "Saya di Pesantren Tebuireng dua tahunan, sekitar tahun tujuh puluh dua. Saya datang ke sana dan pulang tanpa disuruh siapapun. Di sana, saya menimba air buat wudhu di masjid. Kalau yang lain baca kitab di malam hari, saya tidur karena kecapekan. Kakek saya teman Kiai Hasyim Asy’ari semasa perang. Kekaguman saya kepada beliau membuat saya mengaji ke Tebuireng. Beliau juga dahulu berjuang dalam pertanian, itulah yang saya ikuti. Saya tidak pandai baca kitab, tapi bisalah mengaktualkan apa yang saya tahu. Setidaknya kita punya nilai, meskipun cuma setitik embun di padang pasir. Saya tidak ada cita-cita nanti bagaimana, apalagi cari beken. Mengalir saja seperti air di sungai, begitu sifat santri."

Jadi, masih ragukah kau untuk menempuh jalan hidup yang seperti ini? []


Yogyakarta, 13 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar