Rabu, 10 Desember 2014

Kesempatan Emas Abu Dajjanah

Pada Perang Uhud, Rasulullah Saw., berdiri sambil memegangi pedangnya. Beliau berkata “ Siapa yang mau mengambil (pedang) ini?” Semua sahabat pun mengulurkan tangan sambil berteriak, “Aku... Aku.”
Nabi pun berkata, “Siapa yang berani mengambil pedang ini dan mempertanggungjawabkannya?” Para sahabat terdiam.
Akan tetapi, tiba – tiba Abu Dajjanah berteriak lantang, “Aku akan mengambilnya, dan aku akan bertanggungjawab karena telah berani mengambil pedang itu.”
Abu Dajjanah kemudian bergegas maju ke medan pertempuran melawan kaum kafir di barisan depan. Dia mengeluarkan kain merah dari sakunya dan mengikatkannya di kepala.[1]
Kaum Anshar berkata, “Abu Dajjanah mengeluarkan atribut pasukan berani mati. Setiap bertemu musuh, dia pasti akan membunuhnya.”
Abu Dajjanah pada suatu saat menceritakan kenangannya itu, “Waktu itu, aku melihat seseorang yang begitu berapi-api membakar semangat tentara kafir. Aku segera menghampirinya. Tetapi, ketika kuacungkan pedang, orang itu menggigil ketakutan. Ternyata dia seorang wanita. Maka aku tidak jadi membunuhnya. Aku menghormati pedang Rasulullah Saw., hingga tidak membunuh wanita itu.”
Sosok Abu Dajjanah adalah orang yang paling beruntung. Meski dia tidak sekelas dengan Abu Bakar, tidak sekuat Umar bin Khattab, tidak selincah ‘Ali bin Abi Thalib, dia juga tidak semulia ‘Utsman bin Affan di mata Rasulullah Saw. Akan tetapi, dia memperoleh kesempatan termahal yang tidak dimiliki oleh keempat sahabat itu, berperang menggunakan pedang Rasululllah Saw.
Rasulullah Saw. Menawarkan pedang itu kepada sahabatnya dua kali. Ketika penawaran pertama, tanpa syarat “bertanggung jawab,” semua sahabat menawarkan diri untuk menggunakan pedang itu. Namun, pada penawaran kedua, setelah ditambahkan syarat pertanggung jawaban itu, mereka terdiam kecuali Abu Dajjanah.
Apa yang diinginkan Rasulullah Saw., dari mereka? Tidak lain adalah keberanian, percaya diri, dan keseimbangan kinerja antara emosi dengan pikiran.
Bukti keberanian Abu Dajjanah adalah, dia mengikatkan kain merah di kepalanya sebagai tanda “Pasukan Berani Mati.” Meski demikian, dia tidak berlebihan dan tetap dalam kondisi emosi yang terkendali. Buktinya, ketika ia mengetahui bahwa orang yang mengobarkan semangat pasukan kafir itu adalah seorang wanita, dia tidak jadi membunuhnya.
Medan pertempuran, tidak berbedadengan medan kehidupan. Di medan pertempuran, setiap orang mempertaruhkan nyawa untuk memperoleh kemenangan dan hanya dua pilihan, menang atau mati.
Sementara di medan kehidupan, setiap orang mempertaruhkan waktu, umur dan tenaganya untuk bisa hidup bahagia dan sejahtera. Akan tetapi, pada keduanya pada keduanya sama – sama butuh keberanian untuk mengatakan “Aku bisa” agar bisa tampil sebagai pemenang.
Jika Anda memiliki suatu keahlian yang sangat potensial untuk mengantarkan Anda menjadi orang yang sukses. Usia Anda juga masih sangat muda. Tenaga dan kondisi kesehatan Anda sangat prima. Akan tetapi, ketika ada peluang, dan kesempatan yang sesuai dengan bakat dan keahlian Anda datang menghampiri dan Anda tidak berani menangkapnya, maka semua kelebihan yang Anda miliki itu tidak akan berguna sama sekali.

Source: Hudzaifah Ismail, Tadabbur Ayat – Ayat al-Qur’an. Jakarta: Gramedia, 2010.



[1] Pasukan yang memakai ikat kepala merah berarti pasukan yang berani mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar