Pada Perang Uhud, Rasulullah Saw., berdiri sambil memegangi
pedangnya. Beliau berkata “ Siapa yang mau mengambil (pedang) ini?” Semua
sahabat pun mengulurkan tangan sambil berteriak, “Aku... Aku.”
Nabi pun berkata, “Siapa yang berani mengambil pedang ini dan
mempertanggungjawabkannya?” Para sahabat terdiam.
Akan tetapi, tiba – tiba Abu Dajjanah berteriak lantang, “Aku akan
mengambilnya, dan aku akan bertanggungjawab karena telah berani mengambil
pedang itu.”
Abu Dajjanah kemudian bergegas maju ke medan pertempuran melawan
kaum kafir di barisan depan. Dia mengeluarkan kain merah dari sakunya dan
mengikatkannya di kepala.[1]
Kaum Anshar berkata, “Abu Dajjanah mengeluarkan atribut pasukan
berani mati. Setiap bertemu musuh, dia pasti akan membunuhnya.”
Abu Dajjanah pada suatu saat menceritakan kenangannya itu, “Waktu
itu, aku melihat seseorang yang begitu berapi-api membakar semangat tentara
kafir. Aku segera menghampirinya. Tetapi, ketika kuacungkan pedang, orang itu
menggigil ketakutan. Ternyata dia seorang wanita. Maka aku tidak jadi
membunuhnya. Aku menghormati pedang Rasulullah Saw., hingga tidak membunuh
wanita itu.”
Sosok Abu Dajjanah adalah orang yang paling beruntung. Meski dia
tidak sekelas dengan Abu Bakar, tidak sekuat Umar bin Khattab, tidak selincah
‘Ali bin Abi Thalib, dia juga tidak semulia ‘Utsman bin Affan di mata
Rasulullah Saw. Akan tetapi, dia memperoleh kesempatan termahal yang tidak
dimiliki oleh keempat sahabat itu, berperang menggunakan pedang Rasululllah
Saw.
Rasulullah Saw. Menawarkan pedang itu kepada sahabatnya dua kali.
Ketika penawaran pertama, tanpa syarat “bertanggung jawab,” semua sahabat
menawarkan diri untuk menggunakan pedang itu. Namun, pada penawaran kedua,
setelah ditambahkan syarat pertanggung jawaban itu, mereka terdiam kecuali Abu
Dajjanah.
Apa yang diinginkan Rasulullah Saw., dari mereka? Tidak lain adalah
keberanian, percaya diri, dan keseimbangan kinerja antara emosi dengan pikiran.
Bukti keberanian Abu Dajjanah adalah, dia mengikatkan kain merah di
kepalanya sebagai tanda “Pasukan Berani Mati.” Meski demikian, dia tidak
berlebihan dan tetap dalam kondisi emosi yang terkendali. Buktinya, ketika ia
mengetahui bahwa orang yang mengobarkan semangat pasukan kafir itu adalah
seorang wanita, dia tidak jadi membunuhnya.
Medan pertempuran, tidak berbedadengan medan kehidupan. Di medan
pertempuran, setiap orang mempertaruhkan nyawa untuk memperoleh kemenangan dan
hanya dua pilihan, menang atau mati.
Sementara di medan kehidupan, setiap orang mempertaruhkan waktu,
umur dan tenaganya untuk bisa hidup bahagia dan sejahtera. Akan tetapi, pada
keduanya pada keduanya sama – sama butuh keberanian untuk mengatakan “Aku bisa”
agar bisa tampil sebagai pemenang.
Jika Anda memiliki suatu keahlian yang sangat potensial untuk
mengantarkan Anda menjadi orang yang sukses. Usia Anda juga masih sangat muda.
Tenaga dan kondisi kesehatan Anda sangat prima. Akan tetapi, ketika ada
peluang, dan kesempatan yang sesuai dengan bakat dan keahlian Anda datang
menghampiri dan Anda tidak berani menangkapnya, maka semua kelebihan yang Anda
miliki itu tidak akan berguna sama sekali.
Source: Hudzaifah Ismail, Tadabbur Ayat – Ayat al-Qur’an. Jakarta: Gramedia, 2010.
Source: Hudzaifah Ismail, Tadabbur Ayat – Ayat al-Qur’an. Jakarta: Gramedia, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar