Senin, 23 November 2015

Ketika Cinta Meneduhkan Jiwa

"Aku ragu ada dan tiadaku, tapi cinta mengumumkan aku ada."
        Sir Muhammad Iqbal

Teringat salah satu tentang sebuah kisah cinta, cinta yang menggetarkan jantung, namun meneduhkan jiwa. Yaitu kisah cinta Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra. Kisah cinta yang luar biasa indah, cinta yang selalu terjaga kerahasiaannya dalam sikap, kata, maupun ekspresi. Hingga akhirnya Allah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan.

Ada rahasia terdalam dihati ‘Ali yang tak diceritakannya kepada siapapun. Fatimah, sahabat kecilnya, putri tersayang Sang Nabi. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya hingga parasnya sungguh mengagumkan. Konon, karena saking teramat rahasianya, setan saja tidak tahu urusan cinta diantara keduanya. Sudah lama ‘Ali terpesona dan jatuh hati pada Fatimah.

Lihalah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan! ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Fatimah sendiri mencapai puncak keremajaan dan kecantikannya ketika Islam dibawa Nabi Muhammad Saw. sudah maju dan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Fatimah benar-benar telah menjadi anak gadis remaja. Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pemuda terhormat yang menaruh harapan ingin mempersuntingkan puteri Rasulullah itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menangani lamaran itu, Nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwa baginda sedang menanti datangnya petunjuk dari Allah Swt. mengenai puterinya itu.

Diceritakan, ‘Ali Bin Abi Thalib waktu itu ingin melamar Fatimah, putri Nabi Muhammad Saw. tersebut. Tapi karena dia tidak mempunyai uang untuk membeli mahar, maka ia membatalkan niat itu. Ali segera berhijrah untuk bekerja dan mengumpulkan uang. Tapi, seketika ia tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Laki-laki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan nan bijaksana, dialah Abu Bakar ash-Shiddiq, Radliyallaahu ‘Anhu.

“Allah mengujiku rupanya.” Begitu gumam ‘Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ‘Utsman, ‘Abdurrahman ibn Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Sedang ‘Ali hanya pemuda miskin yang berasal dari keluarga miskin pula.

“Inilah persaudaraan dan cinta.” Gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak. Seketika ‘Ali senantiasa menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ia bekerja lebih giat lagi agar cepat mengumpulkan uang dan segera melamar Fatimah.

Namun, ternyata ujian itu belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah lagi yang melamar Fatimah, seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islam membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat setan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Khattab. Ya, al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ‘Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar.” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Sang Nabi. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy!” Katanya. ”Hari ini putera al-Khattab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang “Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak, dan ‘Ali ridla.

Cinta memiliki makna yang dalam, indah dan agung. Tak ada kata-kata yang mampu melukiskan keindahan dan keagungannya. Cinta adalah urusan hati, sementara hati adalah urusan Ilahi. Ternyata lamaran ‘Umar juga ditolak. Tentu saja ‘Ali tertegun dan sedikit bergembira.

Tak lama, kegembiraan itu kembali pudar, karena terdengar kabar lagi, ternyata ‘Utsman bin Affan melamar Fatimah. Seorang miliarder yang berjuang di jalan Allah tidak hanya secara jiwa dan raganya, tetapi juga harta bendanya. Sosok manusia yang menorehkan gambaran pribadi yang lembut, lapang dada, simpatik, gemar menyambung silaturahmi, sangat pemalu dan tidak suka kekerasan. Perangainya yang halus inilah yang membuatnya istimewa dibanding manusia lain. Gelaran Dzun Nuraini tertera pula atas kepercayaan Nabi untuk menikahkannya dengan kedua putrinya, kedua buah cahaya. Sedangkan ‘Ali? Sekali lagi, ‘Ali hanyalah pemuda miskin dari keluarga miskin, ia hanya memiliki sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta. Untuk kesekian kalinya, ‘Ali ridla. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian, atau mempersilakan, dan yang ini adalah pengorbanan.

Tak lama kemudian, lagi-lagi seolah gayung bersambut. ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Utsman pun ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Abul ‘Ash ibn Rabi’, kah? Saudagar Quraisy itu? Suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ‘Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka, atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” Seketika kalimat teman-teman Anshar ‘Ali membangunkannya dari lamunan tak bertuan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

“Aku?” Tanya ‘Ali tak yakin.

“Ya. Engkau wahai saudaraku!” Jawab teman-temannya.

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” Sanggah ‘Ali.

”Kami di belakangmu, semoga Allah menolongmu!” Pungkas teman-temannya.

Akhirnya, ‘Ali memberanikan diri menghadap Sang Nabi. Lalu ia menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi Fathimah. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

“Wahai ‘Ali, engkau pemuda sejati!” Begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

‘Ali menalamar, dan Rasul pun menjawab lamarannya dengan kalimat, ”Ahlan wa sahlan!” Kata yang meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. ‘Ali pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” Tanya teman-temannya.

“Entahlah.” Jawab ‘Ali singkat.

“Apa maksudmu?” Teman-temannya mengejar jawaban.

“Menurut kalian apakah Ahlan wa Sahlan berarti sebuah jawaban?” Tanya ‘Ali.

“Dasar bodoh! Bodoh!” Jawab teman-temannya. “Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup, dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!” Jelas teman-temannya.

Syahdan, ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Di lain sisi, tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda.”

‘Ali terkejut, kemudian memborong pertanyaan, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.” []

Warung Kopi Kopas, 23 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar