“Menangislah, lalu Bangkitlah.”
– Akagami no Shanks, tokoh fiktif
Malam ini jadwal dirasah Ma’had ‘Ali Wahid Hasyim Semester 1 adalah Tarikh Tasyri` (sejarah awal pembentukan
hukum Islam). Hingga pertemuan ke-5, aku masih belum punya kitab pedoman dirasah tersebut, meskipun sudah
berkali-kali pengampu dirasah
menganjurkan setengah mewajibkan atau bisa disebut dengan istilah sunnah muakkad untuk mememilikinya
(terserah dengan cara apa saja, entah itu pinjam, beli, nebeng atau
sejenisnya). Akhirnya aku mangkat dengan modal nekat karena belum dapat
memlikinya untuk pertemuan kali ini.
Sesampai ruang pertemuan, entah pantas
disebut diskriminasi atau sebuah kewajiban, para bidadari-bidadari putri yang
cantik-cantik, yang pintar-pintar, yang cerdas-cerdas, yang sedari awal
pertemuan memiliki kitab Tarikh Tasyri`
hanya diminta membaca kitab kuning yang gundul
tersebut per-kalimat, sedang diriku yang bila dilihat dari tampilan tergolong
lusuh dan sedari awal pertemuan sama sekali tak pernah bersentuhan dengan kitab
tersebut diminta untuk membaca per-paragraf. Hasilnya pun jelas, aku terlihat
amat pekok dengan segudang malu yang
tampak di raut wajahku.
Ini menandakan bahwa selama ini aku
hanya bisa tidur dan tak mau diatur. Pertanda bahwa belajarku kurang mempeng, waktuku terbuang sia-sia,
hidupku terus berlalu tanpa mengenal sarat makna. Seketika itu juga aku ingin
meniru jurus Hell Memmories-nya Sanji
si Kaki Hitam (tokoh fiktif dalam anime One Piece), agar kenangan-kenangan
buruk yang ada di benakku ikut terbakar bersama kaki membara yang menempel di
tubuh-tubuh lawan yang ada di depan mata.
Tuhan tak pernah memberikan suatu
keadaan tanpa tujuan, tanpa kebijaksanaan dan pelajaran. Dari pengalaman baik ataupun buruk, akan selalu ada pelajaran
berharga. Ketika seseorang berhasil mengambil pelajaran tersebut, maka dia akan
menjadi lebih bijak. Kalau dia laki-laki maka akan menjadi laki-laki sejati, dan
kalau dia perempuan akan jadi perempuan yang kuat atau bahasa kerennya wonder
woman.
Pertemuan ini menjadi ajang koreksi diri
bagiku. Aku pun tersadar bahwa di setiap harinya, di setiap waktunya, di setiap
detiknya, di setiap helaan nafas panjang atau pendeknya, makhluk bernama
manusia senantiasa menghadapi pelbagai persoalan hidup yang tiada habisnya.
Terkadang manusia merasakan kebahagiaan dengan apa yang diperolehnya, tetapi
tidak jarang terdapat kesedihan dan kekecewaan dari apa yang mereka alami
karena tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Terkadang berada di atas,
terkadang berada di bawah. Terkadang kehidupan terasa menyenangkan, terkadang
kehidupan terasa membawa beban dan permasalahan berat yang harus diselesaikan. Terkadang manusia hanya bisa pasrah saat kenyataan berbeda dengan
harapan, saat keyakinan hilang dalam kepahitan. Semua
datang silih berganti, seiring pergantian matahari pada siang dan bulan pada malam
yang setia menemani.
Begitulah pergantian peristiwa yang
terus terjadi dalam kehidupan manusia. Hidup membawa manusia pada pelbagai
persoalan yang silih berganti, dan itu akan selalu terjadi sepanjang hidup manusia.
Karena itulah, cara manusia menyikapi setiap peristiwa sangat menentukan
bagaimana hasil dan perasaan terhadapnya. Karena pada dasarnya, peristiwa yang
terjadi di sekeliling manusia bersifat netral. Manusialah yang memaknai
peristiwa itu dalam lubuk hati mereka.
Saat sesuatu terjadi, seseorang bisa
merasakannya sebagai kesedihan, kegembiraan, ketakutan, atau perasaan lainnya,
semua tergantung bagaimana cara merasakannya. Seseorang merasa sedih, senang,
gembira dan lain sebagainya bukan karena faktor di luar kehidupannya, tetapi
itu semua timbul dari dalam dirinya sendiri. Sangat tergantung pada bagaimana
cara memandang berbagai peristiwa tersebut.
Aku pun memaknai pertemuan malam ini
sebagai pengingat bagi kelalaianku akan waktu. Namun aku menolak untuk
menerimanya secara berlebihan, melainkan dengan santai. Karena santai itu adalah ketika seseorang merasa tidak bermasalah dengan
apa pun dalam sebuah lingkaran bernama kehidupan, walau sebenarnya manusia
tidak akan pernah lepas dari masalah, tidak akan pernah bisa keluar dari
lingkaran kehidupan.
Setiap manusia tentu punya batas usia, dan kita tidak akan pernah
tahu kapan batas usia kita. Sebagaimana yang pernah kurasakan, dua teman baik
di kelasku sudah tiada, karena memang kita akan kembali kepada ketiadaan. Namun,
jangan pernah berpaling! Berpaling hanya akan membuat luka lama bersemi
kembali. Bukan hanya cinta yang dapat bersemi kembali, luka pun demikian. Tapi
jangan pula dilupakan, jadikan itu sebagai acuan untuk ke depan.
Di akhir pertemuan, pengampu memintaku untuk tetap hadir di
pertemuan yang akan datang, atau memintaku untuk tidak kapok saat dirasah-nya. “Baca lebih banyak tak apa
ya Mas, namanya juga latihan. Biar tambah lancar, walaupun bacaan kamu tadi
sudah lancar.”
Lho, gimana to? []
Wahid Hasyim, 02 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar